Sebanyak 10 rumah sakit di NTB direkomendasikan turun kelas. Rekomendasi dari Kementerian Kesehatan itu dinilai sebagai dorongan untuk mengevaluasi kinerja pelayanan rumah sakit dengan melengkapi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS -- Sebanyak 10 rumah sakit di Nusa Tenggara Barat, yang bekerja sama dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan direkomendasikan turun kelas. Rekomendasi dari Kementerian Kesehatan itu dinilai sebagai dorongan untuk melakukan evaluasi kinerja pelayanan dengan melengkapi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia di rumah sakit.
"Rekomendasi Kementerian Kesehatan menjadi bahan evaluasi kompetensi rumah sakit dari aspek sumber daya manusia dan alat-alat kesehatan. Hal itu menjadi tolak ukur dan parameter penilaian keberadaan rumah sakit,” ujar Hadi Sulthon, anggota Komisi V DPRD NTB, yang antara lain membidangi Kesehatan, Selasa (6/8/2019) di Mataram.
Pihaknya juga mengapresiasi rumah sakit (RS) yang melayangkan surat kepada Kementerian Kesehatan untuk mengajukan keberatan atas keputusan itu. Artinya ada RS yang mestinya tidak turun kelas, tapi justru turun kelas.
Rekomendasi Kementerian Kesehatan menjadi bahan evaluasi kompetensi rumah sakit.
Seperti diketahui, Menteri Kesehatan memutuskan 615 dari 2.170 RS di Indonesia yang bekerja sama dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan turun kelas.
Kepala Dinas Kesehatan NTB, Nurhandini Eka Dewi, menyebutkan dari angka itu, ada 10 RS di NTB yang turun kelas. Penurunan dari kelas C ke kelas D berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan, terjadi pada RSUD Patut Patuh Patju di Lombok Barat, RSUD Praya di Lombok Tengah, RSUD Sumbawa, RSUD Dompu, RSUD Bima, RS Manambai Abdul Kadir di Sumbawa dan RS Bhayangkara. Adapun RS Kota Bima, RS Cahaya Medika, RS Islam Yatofa turun dari kelas D ke kelas E.
Atas keputusan itu, manajemen 10 RS mengajukan keberatan atau mengeluarkan sanggahan dengan melampirkan alasan keberatan dan bukti-bukti sebagai bahan Kemenkes meninjau kembali keputusannya.
Sekretaris Dinas Kesehatan NTB Marjito mengatakan rata-rata RS yang diturunkan kelasnya adalah RS yang belum maksimalnya mengelola Aplikasi Sarana Prasarana dan Alat Kesehatan (ASPAK) dan Online.
Sebagai contoh, ada RS yang membeli alat kesehatan, namun belum melakukan input data pembelian alat kesehatan ke ASPAK. Data yang diinput RS ke ASPAK harus divalidasi sesuai fakta, dan bebas dari kekeliruan. Aspak diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Namun, lanjut Marjito, penurunan kelas RS juga bisa dilakukan oleh sebab lain. Misalnya ketersediaan dokter. Untuk RS kelas D minimal diperkuat empat dokter umum, ditambah dokter spesialias dasar yakni kandungan, penyakit dalam, anak dan spesialis bedah. Saat tim penilai melakukan kajian, mereka ternyata menemukan ketersediaan dokter tidak sesuai syarat minimal di RS, karena dokter itu pindah tugas atau melanjutkan pendidikan.
Nurhandini menambahkan penurunan kelas RS itu berpengaruh pada pelayanan terutama pada pasien BPJS. Misalnya, pasien BPJS yang tidak bisa dilayani di RSUD Sumbawa, Dompu dan Bima (karena diturunkan kelas) harus dirujuk ke RSUD Kabupaten Sumbawa Barat (kelas C). Sedang jarak antara pusat kota Kabupaten Sumbawa Barat dengan Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa 100 km lebih. Kondisi ini tentu memberatkan pasien.
Hadi Sulthon, menyarankan agar Pemprov NTB melakukan pembenahan RS pemerintah dengan mengalokasikan dana APBD untuk mengangkat tenaga dokter umum, dokter spesialis, asisten apotaker, serta membeli alat kesehatan. Selain itu RS perlu memanfaatkan perangkat informasi dan teknologi yang berbasis online untuk memperbaharui data sumber daya manusia, sarana dan prasarana sebagai standar kompetensi.
“Keputusan Menkes itu bagus, sebagai upaya pembinaan dari Kemenkes kepada rumah sakit agar memberikan pelayanan lebih paripurna. Makanya, kejar parameter yang memengaruhi penilaian kelas rumah sakit, agar tiap rumah sakit memenuhi standar kompetensi,” kata Hadi Suthon.