Forum Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Lombok Utara Digagas
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat bersama Yayasan Sheep Indonesia menggagas pembentukan forum pengurangan risiko bencana (FPRB) di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Forum berbasis komunitas itu diharapkan menjadi salah satu ujung tombak mitigasi bencana tidak hanya gempa, tetapi juga semua jenis bencana yang berpotensi terjadi di daerah tersebut.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
TANJUNG, KOMPAS – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat bersama Yayasan Sheep Indonesia menggagas pembentukan forum pengurangan risiko bencana (FPRB) di Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Forum berbasis komunitas itu diharapkan menjadi salah satu ujung tombak mitigasi bencana tidak hanya gempa, tetapi juga semua jenis bencana yang berpotensi terjadi di daerah tersebut.
Direktur Walhi NTB Murdani dalam acara Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana di Kayangan, Lombok Utara, Rabu (7/8/2019) mengatakan, forum pengurangan risiko bencana (FPRB) dibentuk karena mereka melihat masih lemahnya kemampuan dan kapasitas pemerintah daerah dalam merespon bencana.
Menurut Murdani, FPRB yang mereka gagas akan melakukan berbagai hal kaitannya dengan mitigasi bencana, khususnya peningkatan kapasitas masyarakat.
Peningkatan kapasitas itu antara lain melalui pendidikan atau pelatihan pengurangan risiko bencana di tingkat komunitas di desa-desa. Selain itu, mereka juga akan membuat peta partisipatif rawan bencana dan jalur evakuasi.
“Dengan demikian, kesiapsiagaan di tingkat lokal atau masyarakat bisa terbangun. Apalagi pendekatannya menggunakan kearifan-kearifan lokal yang ada di masyarakat,” kata Murdani.
Lebih lanjut, menurut Murdani, karena berbasis komunitas, maka FPRB ini nantinya akan memiliki jaringan hingga ke desa-desa yang didorong menjadi desa siaga bencana.
Dengan demikian, kesiapsiagaan di tingkat lokal atau masyarakat bisa terbangun. Apalagi pendekatannya menggunakan kearifan-kearifan lokal yang ada di masyarakat
“Desa-desa dengan komunitasnya akan menjadi bagian dari pusat data dan informasi tentang kebencanaan yang akan kami bentuk. Jadi, ketika terjadi bencana, maka semua komunitas yang ada, akan ikut memberi informasi untuk dibagikan langsung ke publik,” kata Murdani.
Sebagai langkah awal, kata Murdani, pada Rabu ini mereka menggelar pelatihan yang melibatkan 32 desa se-Kabupaten Lombok Utara. “Hari ini, kami memulai dengan penyamaan persepsi terkait forum tersebut. Selanjutnya, akan ada pelatihan kader di tingkat desa hingga level komunitas,” kata Murdani.
Husaini selaku Staf Bidang Pengorganisasian dan Advokasi Yayasan Sheep Indonesia, yayasan yang mengelola program rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) di Lombok Utara mengatakan, FPRB penting sebagai tempat berbagai dan berkoordinasi, terutama mengenai data dan informasi.
“Hingga saat ini, misalnya, data klasifikasi kerusakan akibat gempa 2018 belum final. Bahkan data kerusakan pertanian belum tersentuh. Sedangkan untuk informasi, masyarakat tidak mendapatkan akses untuk hampir semua kebijakan terkait rehabilitasi dan rekonstruksi. Harapannya, persoalan seperti itu ke depan bisa terpecahkan dengan hadirnya forum,” kata Husaini.
Rehabilitasi dan rekonstruksi memiliki dua dampak. Kalau baik, masyarakat akan semakin tangguh ketika berhadapan dengan hal yang sama. Kalau tidak, akan menambah kerentanan
Forum juga menjadi penting mengingat masa rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi salah satu fase yang menentukan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. “Rehabilitasi dan rekonstruksi memiliki dua dampak. Kalau baik, masyarakat akan semakin tangguh ketika berhadapan dengan hal yang sama. Kalau tidak, akan menambah kerentanan,” kata Husaini.
Semua pihak
Tokoh pemuda Desa Pendua, Kecamatan Kayangan Saparudin mengatakan, FPRB berbasis komunitas memang diperlukan. Terutama untuk meningkatkan kapasitas masyarakat kaitannya dengan mitigasi bencana.
“Saat ini, masyarakat masih abai. Apalagi jarang mendapat pelatihan terkait kebencanaan. Jadi, melalui forum hal seperti itu bisa semakin banyak dilakukan. Dengan kata lain, forum bisa mendorong agar kewaspadaan masyarakat makin tinggi dan risiko bisa dikurangi,” kata Saparudin.
Hal serupa juga disampaikan tokoh pemuda Desa Kayangan, Jepri. Menurut Jepri, saat ini menjadi momen yang tepat untuk mengajak masyarakat agar semakin waspada terhadap berbagai potensi bencana di tempat tinggalnya.
“Pengalaman gempa besar kemarin mulai menyadarkan masyarakat akan potensi bencana di daerahnya. Jadi, pelibatan mereka dalam pengurangan risiko bencana bisa lebih mudah didorong,” kata Jepri.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lombok Utara menjadi kabupaten terdampak paling parah akibat gempa bumi pada 5 Agustus 2018 lalu. Data BNPB per 20 Januari 2019, tercatat ada 469 korban meninggal dunia, 178.122 warga mengungsi, 49.853 rumah rusak, dan 906 orang warga luka-luka.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB H Ahsanul Khalik mengatakan, mitigasi bencana, memang harus menjadi prioritas untuk saat ini dan masa mendatang.
Oleh karena itu, menurut Ahsanul, pembentukan FPRB adalah langkah yang positif. Apalagi melibatkan masyarakat secara langsung. Pemerintah siap mendukung.
“Ini (forum) merupakan bentuk edukasi yang aplikatif dan tentu kita berharap tidak hanya ada pada saat pembentukannya. Pemerintah Kabupaten Lombok Utara dan Provinsi NTB, akan mengambil bagian pada sisi yang lain. Seperti membekali mereka dengan perlengkapan yang dibutuhkan ketika terjadi bencana,” kata Ahsanul.