Bidan dan Dokter Wajib Optimalkan Sistem Rujukan Berjenjang
Seluruh bidan dan dokter spesialis kandungan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, diharuskan mengoptimalkan sistem rujukan berjenjang. Hal itu untuk menekan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Seluruh bidan dan dokter spesialis kandungan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, diharuskan mengoptimalkan sistem rujukan berjenjang yang dikembangkan oleh Dinas Kesehatan Sidoarjo. Hal itu untuk menekan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo Syaf Satriawan di Sidoarjo, Kamis (8/8/2019) mengatakan bidan dan dokter bisa dijatuhi sanksi apabila tidak mengoptimalkan sistem rujukan berjenjang. Sanksinya mulai dari teguran hingga tidak dikeluarkannya izin praktek.
Dinkes Sidoarjo mencatat, angka kematian ibu (AKI) melahirkan dan bayi baru lahir (AKB) di daerahnya memprihatinkan. Sidoarjo bahkan menduduki peringkat ketiga tertinggi di Jatim setelah Kabupaten Jember dan Kabupaten Malang.
“Jumlah AKI dan AKB di Sidoarjo 2018 mencapai 23 kasus dan 198 kasus. Artinya, Sidoarjo menyumbang 23 kematian ibu dari total kematian ibu di Jatim sepanjang 2018 sebanyak 522 kasus,” ujar Syaf, Kamis (8/8/2019).
Sidoarjo menyumbang 23 kematian ibu dari total kematian ibu di Jatim sepanjang 2018 sebanyak 522 kasus.
Angka kematian ibu dan bayi itu berpotensi meningkat tahun ini apabila tidak dicegah. Dinkes Sidoarjo mencatat sampai Juni lalu jumlah AKI telah mencapai 13 kasus sedangkan AKB sebanyak 157 kasus. Penyebab kematian ibu paling banyak adalah preeklamsia dengan kontribusi 48 persen dan perdarahan dengan kontribusi 39 persen
Preeklamsia merupakan komplikasi pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, kenaikan kadar protein di dalam urin, dan pembengkakan pada tungkai. Sedangkan untuk perdarahan sebagian besar kematian ibu justru terjadi pada masa nifas.
Adapun kematian bayi banyak disebabkan oleh berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kontribusi hingga 60 persen. Selain itu bayi lahir prematur dan bayi yang meninggal pada saat dilahirkan.
Komitmen bersama
Untuk menurunkan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, dibutuhkan komitmen bersama seluruh penyedia layanan kesehatan di berbagai tingkatan. Untuk itulah diperlukan payung hukum sebagai pijakan regulasinya. Rencananya payung hukum itu dalam bentuk peraturan bupati.
Di dalam peraturan ini selain menuntut komitmen para pihak terkait juga akan mengatur tentang apresiasi dan sanksi. Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum optimalnya sistem rujukan berjenjang.
Sistem ini penting untuk memaksimalkan penanganan pasien. Sistem mampu memfasilitasi akses data terkait riwayat selama masa kehamilan hingga penanganan medis terakhir sebelum dirujuk.
Saat ini ada dua sistem rujukan berjenjang yang digunakan yakni SiCantik yang diinisiasi oleh Dinkes dan Simanies yang diinisiasi oleh RSUD Sidoarjo. Simanies merupakan portal pengiriman pesan pendek atau short message service (sms) tentang kasus darurat neonatal dan maternal yang memerlukan rujukan ke rumah sakit. Sedangkan SiCantik merupakan program rujukan untuk memantau ibu hamil dan persalinan.
“Namun antarprogram rujukan ini belum terkoneksi. Pemanfaatannya juga belum optimal. Masih banyak bidan dan dokter kandungan yang belum mengakses sistem rujukan tersebut,” kata Syaf.
Dari 1.058 bidan di Sidoarjo, hanya 168 orang yang masuk dalam sistem rujukan berjenjang hingga Maret lalu. Adapun pada Agustus, jumlah bidan yang masuk dalam sistem rujukan berjenjang naik menjadi 992. Bidan merupakan salah satu ujung tombak penanganan kesehatan ibu melahirkan dan bayi baru lahir.
Merekalah yang mengetahui riwayat ibu melahirkan sejak masa kehamilan. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah bidan yang masuk dalam sistem rujukan berjenjang, penanganan yang dilakukan bisa semakin optimal.
Ujung tombak
Selain bidan, ujung tombak penanganan kesehatan ibu melahirkan dan bayi baru lahir adalah dokter spesialis kandungan dan dokter anak. Dari 65 dokter kandungan yang berpraktek di Sidoarjo, sudah 40 orang yang masuk dalam sistem rujukan. Namun untuk dokter anak, baru ada empat yang bergabung.
Syaf mengatakan untuk menguatkan komitmen masing-masing pihak dalam menyukseskan upaya penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, telah dirancang sebuah sistem yang akan mengatur penghargaan atau apresiasi dan sanksi. Sanksinya mulai yang paling ringan berupa teguran hingga yang terberat seperti tidak dikeluarkannya izin praktek oleh Dinkes Sidoarjo.
Sebelumnya, Selasa (6/8), Dinkes Sidoarjo bekerjasama dengan USAID melakukan penandatanganan komitmen bersama dalam upaya penurunan AKI (Angka Kematian Ibu) dan AKB (Angka Kematian Bayi) di Kabupaten Sidoarjo. Para pihak yang terlibat antara lain Dinkes Sidoarjo, RSUD Sidoarjo, rumah sakit swasta, puskesmas, dinas kependudukan, organisasi sosial kemasyarakatan, dan media massa.
Manajer Regional Jatim USAID Jalin, program khusus untuk mengurangi kematian ibu dan anak, Purwida Liliek Haryati mengatakan berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan lima faktor utama penyebab kematian ibu dan bayi baru lahir yakni skrining dini resiko tinggi yang masih kurang.
Selain itu kualitas penanganan kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal yang belum optimal, kurangnya edukasi tentang kesehatan reproduksi serta gizi ibu hamil, kualitas sistem rujukan belum optimal, serta adanya keluarga miskin yang kesulitan dalam pembiayaan layanan maternal dan neonatal.
“Dari lima faktor penyebab tingginya kematian ibu dan bayi baru lahir itu, yang harus dibenahi di Sidoarjo adalah sistem rujukan yang belum optimal,” kata Purwida.