Kebakaran Meluas di Gunung Ciremai, Water Bombing Diterjunkan
Helikopter “water bombing” atau bom air diterjunkan untuk membantu pemadaman kebakaran di puncak Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Kebakaran yang terjadi sejak Rabu (7/8/2019) siang itu terus meluas dan diperkirakan membakar hutan dan lahan lebih dari 300 hektar.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS – Helikopter “water bombing” atau bom air diterjunkan untuk membantu pemadaman kebakaran di puncak Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Kebakaran yang terjadi sejak Rabu (7/8/2019) siang itu terus meluas dan diperkirakan membakar hutan dan lahan lebih dari 300 hektar.
“Helikopter water bombing sudah mendarat di Bandara Cakrabhuwana di Cirebon. Kami lagi menghitung kondisi cuaca, seperti angin kencang, untuk menurunkan water bombing,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kuningan Agus Mauludin, Kamis pukul 20.00.
Bantuan bom air dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut, menurut Agus, dibutuhkan karena pemadaman api secara manual sulit dilakukan. Api yang muncul sejak Rabu pukul 13.00 berada di Gua Walet di ketinggian 2.950 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Lokasinya hanya 0,3 kilometer dari puncak Gunung Ciremai setinggi 3.078 mdpl. Adapun jarak dari permukiman di Palutungan, Kecamatan Cigugur, Kuningan, berkisar 10 kilometer dengan waktu tempuh jalan kaki enam hingga delapan jam.
Helikopter water bombing sudah mendarat di Bandara Cakrabhuwana di Cirebon. Kami lagi menghitung kondisi cuaca, seperti angin kencang, untuk menurunkan water bombing
Sebanyak 219 personel yang terdiri dari BPBD Kuningan dan BPBD Majalengka, TNI, Polri, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, dan masyarakat diterjunkan untuk membantu pemadaman dan evakuasi pendaki. Hingga Kamis sore, sebanyak 69 pendaki yang terdaftar telah turun dari Ciremai dalam kondisi selamat.
“Sekarang, kami fokus pemadaman. Akan tetapi, medannya terjal menjadi kendala pemadaman secara manual. Kami hanya berupaya membuat sekat bakar untuk mencegah api meluas,” paparnya.
Pembuatan sekat bakar dilakukan dengan membabat ilalang hingga menyisakan batu dan tanah selebar 2 meter sampai 10 meter. Ilalang lalu ditumpuk sepanjang jalur bekas pangkasan. Dengan begitu, api hanya membakar ilalang yang sudah terpisah dengan parit sehingga api tidak menjalar ke pepohonan lainnya.
“Namun, arah angin berubah-ubah memicu meluasnya kebakaran. Dari informasi di lapangan, sekitar 300 hektar lahan dan hutan terbakar. Bahkan, sudah meluas ke jalur pendakian Palutungan,” ungkap Agus. Sumber air juga tidak ada di sekitar areal tersebut.
Api menghanguskan ilalang, perdu, pohon pinus, bahkan edelweis. Areal tersebut didominasi oleh ilalang dan perdu yang mudah terbakar. “Tahun 2015, kebakaran juga terjadi di sana. Dalam lima menit, api sudah membakar 30 hektar lahan. Saat itu, sekitar 180 hektar hangus terbakar,” katanya.
Oleh karena itu, bom air diperlukan untuk memadamkan si jago merah di puncak Ciremai saat ini. Bom air itu mampu menampung 4.000 liter air. Lokasi pengambilan air terdekat berada di Waduk Darma, sekitar 15 kilometer dari Palutungan.
Namun, arah angin berubah-ubah memicu meluasnya kebakaran. Dari informasi di lapangan, sekitar 300 hektar lahan dan hutan terbakar. Bahkan, sudah meluas ke jalur pendakian Palutungan
Bangun posko
Untuk menangani kebakaran hutan dan lahan di Ciremai, BPBD Kuningan telah membangun posko lapangan di Palutungan (1.100 mdpl), posko darurat logistik di Blok Pangguyangan Badak (1.800 mdpl), dan Blok Pasanggrahan (2.450 mdpl). Posko itu beroperasi hingga kebakaran tuntas.
Agus mengatakan, pihaknya belum dapat menyimpulkan penyebab kebakaran itu. Saat ini, pihaknya fokus memadamkan api. Balai Taman Nasional Gunung Ciremai juga menutup jalur pendakian hingga waktu yang belum ditentukan.
Endun Abdullah, Ketua Mitra Pengelola Pendakian Gunung Ciremai di jalur Palutungan, mengatakan, sebelum naik ke Ciremai, para pendaki dibekali buku panduan dan tata tertib pendakian. “Salah satunya, tidak boleh membuat api unggun di sembarangan tempat. Kami sudah menyediakan tempatnya,” paparnya.
Kebakaran di gunung tertinggi di Jabar itu bukan kali pertama. Balai TNGC mencatat, lahan yang terbakar pada 2013 seluas 14,96 hektar. Pada 2014 meningkat menjadi 266,034 hektar dan melonjak lagi menjadi 666,9 hektar setahun kemudian.
Setelah tak ada kebakaran sepanjang 2016, api muncul lagi setahun kemudian. Saat itu, luas lahan terbakar 107 hektar. Tahun 2018, lebih dari 1.400 hektar lahan terbakar. Upaya bom air juga dilakukan saat itu.