Di Balik Konsumsi Satwa Liar di Minahasa, Penyakit Menular Mengintai
Perilaku konsumsi daging satwa liar seperti kelelawar, rodensia, dan primata di Minahasa, Sulawesi Utara, memaparkan manusia pada risiko infeksi penyakit zoonotik yang ditularkan oleh hewan. Konsumsi berlebihan tidak hanya mengancam kepunahan populasi satwa terkait, tetapi juga biota lain dalam ekosistem.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS – Perilaku konsumsi daging satwa liar seperti kelelawar, rodensia, dan primata di Minahasa, Sulawesi Utara, memaparkan manusia pada risiko infeksi penyakit zoonotik yang ditularkan oleh hewan. Konsumsi berlebihan tidak hanya mengancam kepunahan populasi satwa terkait, tetapi juga biota lain dalam ekosistem.
Demikian hasil penelitian tentang potensi penyakit zoonosis di Minahasa oleh PREDICT-Indonesia yang disponsori Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Penelitian ini melibatkan Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor University (PSSP IPB University) dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta.
“Sudah dibuktikan, 75 persen infeksi baru atau berulang pada manusia ditularkan oleh hewan. 60 persen dari penyakit zoonotik itu ditularkan satwa liar. Ada tiga kelompok hewan yang menyebabkan penularan di Sulut, yaitu kelelawar, rodensia, dan primata,” kata Joko Pamungkas, koordinator USAID PREDICT-Indonesia, Selasa (13/8/2019), di Rumah Sakit Umum Daerah Noongan, Langowan Utara, Minahasa.
Joko yang juga peneliti PSSP IPB University mengatakan, interaksi berisiko tinggi antara satwa liar dengan manusia di Sulut cukup tinggi lantaran budaya kuliner yang tergolong ekstrem. PREDICT menemukan hewan seperti kelelawar, monyet hitam sulawesi (yaki), dan tikus yang dijual di Pasar Kawangkoan Minahasa dan Pasar Beriman Tomohon.
Interaksi manusia dengan satwa-satwa liar ini bisa menularkan beberapa penyakit zoonotik seperti nipah, gondongan, dan sebagainya. Sebanyak 1.991 spesimen dari 400 ekor satwa liar dari tiga kelompok hewan yang diteliti memuat beberapa jenis virus seperti paramiksovirus yang menyebabkan gondongan serta koronavirus yang menyebabkan sindrom pernapasan akut (SARS).
Risiko penularan lebih banyak terlihat pada para pemburu, penampung hewan sebelum dimatikan, orang-orang yang mentransportasikannya, serta para pemenggal di restoran. Potensi tercakar dan tergigit jauh lebih besar, sehingga kelompok masyarakat ini juga menjadi target penelitian kami
Adapun sampel diambil dari beberapa bagian tubuh hewan, seperti usapan mukosa mulut dan tenggorokan, deses, dan urin, dan darah.
Adapun 876 spesimen dari pasien RSUD Noongan dan di Puskesmas Kawangkoan serta masyarakat sekitar yang sehat memuat beberapa virus seperti koronavirus, paramiksovirus, hingga herpesvirus penyebab herpes. Uniknya, belum ada keluhan pasien yang tertular penyakit segera setelah makan daging kelelawar, tikus, atau yaki.
Joko menduga, cara masyarakat Minahasa memasak daging satwa liar dalam waktu yang lama dapat mematikan patogen dalam daging satwa liar. Bumbu-bumbu yang digunakan juga dapat mematikan patogen sehingga konsumsi relatif aman.
“Risiko penularan lebih banyak terlihat pada para pemburu, penampung hewan sebelum dimatikan, orang-orang yang mentransportasikannya, serta para pemenggal di restoran. Potensi tercakar dan tergigit jauh lebih besar, sehingga kelompok masyarakat ini juga menjadi target penelitian kami,” kata Joko.
Peneliti Lembaga Eijkman Tina Kusumaningrum mengatakan, dari penelitian 876 spesimen yang dari partisipan sehat dan sakit, 3,5 persen terbukti terinfeksi penyakit zoonotik. Meskipun hasil penemuan tergolong rendah, risiko penularan penyakit zoonotik akan selalu ada, seperti koronavirus, paramiksovirus, influenza, serta filovirus penyebab ebola.
“Kami tidak bermaksud menakut-nakuti masyarakat, tetapi risiko tersebut selalu ada. Ada kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menyebabkan risiko semakin tinggi,” kata Tina.
Penelitian PREDICT itu juga disertai penelitian kualitatif dengan wawancara etnografik serta diskusi kelompok fokus. Sebanyak 53 pemburu, penjual, dan konsumen daging hewan liar seperti kelelawar, tikus ekor putih, dan babi hutan dari Sulawesi Utara, Barat, dan Tenggara terlibat.
Tina mengatakan, ke-53 responden sudah terbiasa terkena cakaran dan gigitan satwa liar. Mereka pun hanya mencuci tangan atau menggunakan obat-obatan tradisional. “Kalau kena demam, mereka biarkan saja sampai sembuh sendiri,” katanya.
Joko menambahkan, tidak mudah mengubah budaya makan masyarakat. Karena itu, butuh upaya di tingkat masyarakat untuk membentuk kearifan lokal baru yang dipadukan dengan pengetahuan tentang penyakit menular. Proses ini disebutnya penting untuk generasi muda.
Konservasi
Sementara itu, peneliti PREDICT-Indonesia lainnya, Suryo Saputro menitikberatkan penularan penyakit melalui konsumsi daging kelelawar. Konsumsi meningkat di waktu-waktu tertentu, seperti menjelang natal serta pengucapan syukur saat panen raya.
Dari pengambilan sampel di 23 pasar di Sulut, seperti Pasar Karombasan di Manado, pasar Kawangkoan, dan Pasar Beriman, terungkap konsumsi kelelawar oleh masyarakat Sulut mencapai 22.190 ekor per minggu.
“Dalam sebulan, sekitar 81.857 ekor paniki (kelelawar) dikonsumsi. Selama setahun, kira-kira 982.286 ekor, hampir 1 juta. Itu hanya di pasar tradisional, belum di supermarket,” kata Suryo.
Sulut adalah konsumen terbesar. Daerah lain seperti Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Barat, dan Tengah menjadi penyuplai. Ada 35 dari 42 situs perburuan yang terus dieksploitasi selama 2017-2019.
Suryo mengatakan, ada beberapa alasan perburuan, mulai dari sebagai mata pencaharian hingga pengusiran hama kebun. Padahal, kelelawar adalah agen penyerbukan 300 jenis pohon buah-buahan di Sulawesi, seperti durian, alpukat, dan pisang.
Dalam sebulan, sekitar 81.857 ekor paniki (kelelawar) dikonsumsi. Selama setahun, kira-kira 982.286 ekor, hampir 1 juta. Itu hanya di pasar tradisional, belum di supermarket
“Perlu upaya bersama dari pemerintah dan lembaga terkait lainnya untuk mencegah konsumsi berlebihan. Kelelawar memainkan peran penting dalam pelestarian hutan dan penyerbukan buah,” kata Suryo.