Tanpa Pencegahan Masif, Kerugian Bisa Capai Ratusan Triliun Rupiah
Oleh
fajar ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tanpa upaya pencegahan yang masif, kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Hal itu mengingat musim kemarau tahun ini diprediksi lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya dengan puncaknya pada Agustus hingga September.
Jangan sampai kebakaran hutan dan lahan pada 2015 kembali terulang. Waktu itu, kebakaran lahan dan hutan terjadi karena musim kemarau panjang akibat El Nino.
Deputi Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi S Wardhana mengatakan, kerugian akibat kebakaran pada 2015 sebesar Rp 221 triliun. Jumlah tersebut merujuk dari data Bank Dunia pada 2016.
“Itu hanya untuk penanganan jangka pendek atau selama tiga bulan kejadian kebakaran hutan dan lahan,” ujarnya dalam diskusi bertema “Ongkos Kesehatan dari Bencana Kebakaran Hutan dan Gambut” oleh Katadata.co.id di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan pada 2015, biaya yang harus digelontorkan mencapai Rp 2,5 triliun. Adapun, biaya pengobatan langsung bagi masyarakat yang terdampak sebesar Rp 1,9 triliun. Kerugian lainnya melingkupi kerusakan produksi, distribusi, perdagangan hingga penurunan nilai sumber daya.
Jumlah tersebut belum termasuk penanganan dampak kebakaran hutan dan lahan jangka panjang seperti kesehatan. Lebih dari 600.000 orang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat asap kebakaran. Selain itu, asap dari kebakaran hutan dan lahan juga ditengarai berdampak pada penurunan kecerdasan anak dan penyakit kardiovaskuler.
“Bisa dibayangkan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan selama tiga bulan kesulitan menghirup oksigen,” tambah Budi.
Kerugian-kerugian lainnya yang juga sulit ditafsir meliputi penurunan muka tanah akibat pengurasan air, oksidasi gambut atau hilangnya layanan ekosistem. Jika serangga mati, maka proses polinasi tidak dapat terjadi sehingga produksi buah-buahan atau sayur-sayuran akan turun.
Budi mengatakan, kerugian sebesar itu bisa kembali terjadi pada tahun ini, sehingga pencegahan kebakaran hutan dan lahan harus menjadi fokus semua pihak. Hal itu penting mengingat kekeringan tahun ini diprediksi jauh lebih panjang dari tahun sebelumnya. Puncaknya diprediksi pada Agustus hingga September 2019.
Kerugian sebesar itu bisa kembali terjadi pada tahun ini, sehingga pencegahan kebakaran hutan dan lahan harus menjadi fokus semua pihak.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa (13/8/2019) pukul 09.00, menyebutkan, jumlah titik panas di seluruh Indonesia sebanyak 863 titik. Sebanyak 34 helikopter dan 9.072 personil gabungan dikerahkan untuk melakukan penanggulangan.
Budi menambahkan, total kesatuan hidrologis gambut nasional saat ini mencapai 21.674.305 hektar. Salah satu langkah konkret pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan mempertahankan muka air pada lahan gambut dengan membuat kanal-kanal beserta sekatnya.
“Dengan adanya kanal, tinggi muka air bisa terjaga dan jika meluap bisa mengaliri lahan yang lebih rendah,” ujar Budi.
Hanya saja, lanjut Budi, kanal-kanal yang dibuat oleh masyarakat saat ini jumlahnya masih cukup terbatas. Jumlah kanal yang dibuat BRG masih di bawah 20 persen dari keseluruhan lahan gambut. Kendala lainnya, masih ada desain-desain kanal buatan masyarakat yang masih belum ideal.
“Desain itu berkaitan dengan banyaknya sekat yang dibutuhkan atau ketinggian kanal yang harus dibuat secara bertingkat. Masih ada beberapa yang belum memenuhi,” ujarnya.
Audit pemerintah
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengungkapkan, pada 2014 pemerintah telah mengaudit 17 perusahaan perusahaan pada 6 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah dalam pencegahan kebakaran hutan.
Hasilnya, sebanyak lima perusahaan perkebunan dan 10 perusahaan kehutanan disimpulkan tidak patuh, sedangkan satu perusahaan kehutanan sangat tidak patuh. Adapun, empat kabupaten dikategorikan kurang patuh. Sayangnya, hasil audit tersebut hingga kini tidak pernah dijadikan rujukan.
“Jika audit kepatuhan ini dilakukan di banyak provinsi dan perusahaan, kami yakin pencegahan bisa lebih mudah,” kata Teguh.
Jika audit kepatuhan ini dilakukan di banyak provinsi dan perusahaan, kami yakin pencegahan bisa lebih mudah.
Advisor Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LKTL) Program Kebakaran Hutan dan Lahan Dedi Hariri mengatakan, tren kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sangat unik karena hampir setiap tahun terjadi dengan skala yang bervariasi. Aspek pencegahan yang lebih murah dan efektif masih belum dilakukan secara masif.
“Padahal, asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan bisa menyentuh aspek kesehatan, sosial, ekonomi bahkan politik,” katanya.