Masyarakat Adat Danau Toba Jadi Korban Alih Fungsi Hutan
Selain lahan pertanian milik masyarakat dan hutan kemenyan yang sakral bagi masyarakat adat Danau Toba menjadi rusak, masyarakat juga disebut mengalami kriminalisasi.
Oleh
Fajar Ramadhan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat adat di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, dinilai menjadi korban dari alih fungsi hutan adat menjadi wilayah hutan negara dan hutan tanaman industri. Selain lahan pertanian milik masyarakat dan hutan kemenyan yang sakral bagi masyarakat adat menjadi rusak, masyarakat juga disebut mengalami kriminalisasi.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak mengatakan, sejumlah wilayah adat di sekitar Danau Toba yang dihuni masyarakat adat kini beralih fungsi. Area mereka diklaim sebagai hutan negara dan konsesi hutan tanaman industri (HTI) milik PT Toba Pulp Lestari (TPL).
”Lahan-lahan konsesi tersebut ada di wilayah adat kawasan Danau Toba yang di dalamnya terdapat perkampungan, lahan pertanian, makam leluhur, dan hutan kemenyan,” ujar Roganda saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Menurut dia, lahan konsesi yang dimiliki PT TPL saat ini seluas 188.000 hektar. Aktivitas mereka dalam 10 tahun terakhir meratakan lahan pertanian dan makam leluhur. Hutan kemenyan juga ditebangi dan diganti dengan tanaman eukaliptus yang merupakan bahan baku pulp.
”Padahal, masyarakat tidak bisa sembarangan menebang pohon karena ada kearifan lokal di sana. Ada ritual-ritual khusus untuk menjaga hutan kemenyan tersebut,” lanjutnya.
Adapun wilayah adat yang tergabung dalam AMAN Tano Batak seluas 60.000 hektar dan terletak di 12 kabupaten. Sementara total keseluruhan wilayah adat di kawasan Danau Toba mencapai ratusan ribu hektar.
Masyarakat adat Tano Batak mengaku sudah tinggal di kawasan Danau Toba selama ratusan tahun. Mereka menggantungkan hidup di wilayah adat tersebut hingga saat ini. Hutan kemenyan yang mereka kelola melalui kearifan lokal leluhur Batak juga berfungsi sebagai penyangga air untuk Danau Toba.
Kriminalisasi
Menurut Sinung Karto dari Advokasi PB AMAN, banyak masyarakat yang bertani dituduh menduduki hutan negara dan merusak tanaman milik perusahaan. Selama Juli 2019, misalnya, ada lima masyarakat Desa Tor Nauli, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, yang dipanggil Polres Tapanuli Utara akibat pengaduan pihak PT TPL.
”Kami menuntut pemerintah menghentikan kriminalisasi dan intimidasi kepada masyarakat adat,” ujarnya.
Sebelumnya, Senin (12/8/2019), perwakilan AMAN Tano Batak mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta. Mereka meminta agar wilayah konsesi PT TPL dikeluarkan dari wilayah adat. Mereka juga menuntut agar pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
”Pihak KLHK berjanji akan terjun ke wilayah-wilayah adat yang sudah kami usulkan, tapi belum tahu kapan tepatnya. Yang pasti, dalam waktu dekat,” kata Roganda.