Balun Menyemai Toleransi Umat
Gambaran penghormatan akan keberagaman Nusantara ada dalam keseharian masyarakat di Desa Balun, Kecamatan Turim, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di desa yang mendapat julukan sebagai ”Desa Pancasila” itu, spirit toleransi antarumat beragama senantiasa disemai dan dipupuk. Roh kemerdekaan Indonesia ada di sana.
Sengatan mentari selepas tengah hari di alun-alun Desa Balun, Senin (5/8/2019), serasa memanggang kulit dan mendidihkan kepala. Namun, pemandangan rumah Tuhan dalam beragam agama serta semarak bendera Merah Putih dan umbul-umbul yang terpasang mampu menghadirkan kesejukan di hati.
Di tepi barat lapangan seluas lebih dari 2 hektar itu, menara Masjid Miftahul Huda menjulang menggapai mega. Di seberangnya atau pinggir alun-alun terdapat Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Lamongan Wilayah Balun. Hanya terpisah sebuah gang, di barat daya masjid tersebut berdiri Pura Sweta Maha Suci.
Sisi utara alun-alun merupakan pemakaman. Bagian tengah pusat pengebumian itu merupakan makam Mbah Alun atau Mbah Sin Arih, leluhur warga Desa Balun.
Nama Desa Balun diambil dari nama Mbah Alun yang menjadi Balun. Ia diyakini
sebagai Raja Blambangan dengan gelar Sunan Tawang Alun I. Raja diduga terpaksa ”menepi” dan tutup usia di Lamongan karena kerajaannya digempur musuh. Desa tempatnya mangkat, yang berabad-abad lalu dikenal sebagai Desa Candipari, lantas disebut Desa Balun.
Pekuburan dan keberadaan tiga tempat ibadah yang berdekatan itu menjadi ikon sekaligus obyek wisata religi Desa Balun yang sejak sewindu terakhir mendapat julukan Desa Pancasila. Hal itu tak lepas dari kehidupan masyarakat yang rukun dan menjunjung tinggi sikap toleransi antarumat beragama. Keberadaan masjid, pura, dan gereja yang berdampingan itu jadi bukti nyata.
Walakin, bukan bukti fisik yang penting, melainkan kehidupan sekitar 4.700 jiwa warga desa seluas 622 hektar itu. Saat ini, pemeluk Islam di Desa Balun sebanyak 3.860 jiwa, Kristen 630 jiwa, dan Hindu 170 orang. ”Kami sungguh rukun dan sekuat tenaga mempertahankan toleransi,” kata Kepala Desa Balun Khusyairi, ditemui di Balai Desa Balun.
Tenggang rasa antarumat beragama sudah diwariskan oleh sosok leluhur yang tak lain adalah Mbah Alun. Menurut catatan Achmad Chambali, budayawan Lamongan, dalam Sejarah Perjuangan Mbah Alun (Mbah Sin Arih), Sunan Tawang Alun I diduga bernama Bedande Sakte Bhreau Arih dan sebelumnya beragama Hindu. Dalam pelariannya di Lamongan, Mbah Alun lantas memeluk agama Islam. Ia pun menyembunyikan identitas sebagai raja dan di kemudian hari lebih dikenal sebagai ulama.
Kemelut gerakan 30S/PKI pada 1966 turut berdampak bagi Desa Balun. Menurut Khusyairi, sejumlah warga dan pamong desa yang dituduh terlibat komunisme, saat itu terkena ”pembersihan”. Akibatnya, terjadi kekosongan perangkat penyelenggara desa.
Pada 1967, seorang prajurit kelahiran Desa Balun, yaitu Pak Batih, yang sedang bertugas di Papua (dahulu Irian Barat) dipanggil untuk pulang sekaligus menjabat pemimpin sementara desa yang sebagian besar wilayahnya berupa persawahan itu.
Batih beragama Kristen, tetapi dapat diterima oleh warga desa yang mayoritas Muslim ketika itu. Inilah yang menurut Sutrisno, tokoh Kristen Desa Balun, merupakan langkah penting masyarakat setempat memegang teguh toleransi. Batih mendorong pemahaman yang sebenarnya juga diajarkan Mbah Alun semasa hidup berabad-abad silam tentang menghormati keyakinan orang lain.
”Semasa hidup di sini, Mbah Alun dipercayai mengajarkan toleransi,” kata Martono, juru kunci sekaligus sesepuh Makam Mbah Alun, saat ditemui secara terpisah. Dikenalkannya agama Kristen di Desa Balun turut membuka jalan masuknya agama Hindu, terutama dari Desa Plosowahyu yang berada di sebelah barat. Menurut Adi Wiyono, tokoh Hindu Desa Balun, sebelum agama ini masuk, kalangan warga juga banyak yang memeluk keyakinan atau kepercayaan.
”Saat berkuasa, Orde Baru hanya mengakui lima agama, sementara teman-teman kepercayaan ketika itu merasa yang pas adalah Hindu,” kata Adi yang datang ke Desa Balun sebagai guru SD dari Banyuwangi pada 1979. Selanjutnya, mereka bolak-balik ke Surabaya untuk memperdalam agama Hindu.
Bagaimana dengan pura? Semasa pemerintahan Batih, di lokasi pura saat ini, dahulu merupakan tanah kas desa, tetapi ”ditakuti” warga karena angker. Batih menyumbangkan sepetak lahan itu untuk pura. ”Walaupun katanya angker, ya, kami terima dan syukuri karena bisa membangun tempat ibadah sendiri,” ujar Adi.
Awalnya, umat Hindu di sana membangun sanggar atau rumah bujur sangkar. Pada 1987, umat Hindu mulai membangun pura. Tempat ibadah ini baru selesai dibangun dan diresmikan pada 24 Desember 1996 oleh Bupati Lamongan saat itu KH Moch Faried. Menurut Adi, pura itu awalnya akan dinamai Dharmasasana. Namun, Sweta Maha Suci yang merupakan usulan dari seluruh tokoh warga akhirnya lebih diterima.
Kebersamaan
Kebersamaan antarumat salah satunya terlihat dalam perayaan Idul Adha. Pada perayaan itu, umat Hindu juga mendapat daging kurban. Namun, yang diberikan daging kambing atau domba. Umat Hindu sangat menghormati sapi sehingga mereka tidak akan dilibatkan dalam proses penyembelihan sapi saat Idul Adha.
Sebaliknya, umat Hindu dan Kristen juga tidak pernah menyembelih babi, binatang yang diharamkan oleh umat Islam. Jika ingin mengonsumsi, mereka membeli dari tempat lain dan mengolahnya sendiri.
Dalam momen Idul Fitri, Natal, dan Nyepi, kebersamaan warga kian tampak. Seluruh warga terlibat entah sebagai panitia dan atau saling bantu. Dalam pawai ogoh-ogoh, misalnya, pemuda Islam dan Kristen turut membuat dan mengusung guna memeriahkan acara.
Saat Natal, warga Islam dan Hindu bahu-membahu memastikan pengamanan ibadat di gereja. ”Saat Nyepi tiba, speaker hanya dibunyikan untuk di dalam masjid. Penerangan menara dimatikan,” kata Ustad Suwito.
Kehidupan yang rukun di Desa Balun berbuah predikat sebagai Desa Pancasila. Sertifikat penghargaan itu diserahkan Bupati Lamongan Fadeli pada awal tahun ini. ”Julukan sebagai Desa Pancasila merupakan kebanggaan, tetapi tugas berat untuk mempertahankan dan mengembangkannya,” ujar Khusyairi.