Antisipasi Kekeringan Tidak Optimal
Antisipasi dampak kemarau kali ini di Ibu Kota belum optimal karena masih bergantung pada air perpipaan PAM Jaya untuk menyuplai air bersih.
JAKARTA, KOMPAS— Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kelas II Tangerang Selatan pada 20 Agustus mengeluarkan peringatan dini kekeringan yang akan terjadi di Banten dan Jakarta. Kondisi ini merupakan imbas musim kemarau yang melanda kedua provinsi sejak bulan lalu.
Di DKI Jakarta, beberapa wilayah dinyatakan berstatus merah atau awas karena mengalami hari tanpa hujan selama 61-90 hari. Wilayah tersebut, antara lain, adalah Menteng, Gambir, Kemayoran, Tanah Abang, Tebet, Setiabudi, Pasar Minggu, Halim, Pulogadung, Cipayung, Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading, dan Penjaringan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (22/8/2019), menyiapkan instruksi khusus guna mengantisipasi kekeringan akibat kemarau panjang di Ibu Kota. Warga diimbau menggunakan air secara hemat.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf menambahkan, setidaknya ada dua wilayah yang rawan kekeringan, yakni Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Saat ini pihaknya berkoordinasi dengan wali kota setempat dan PAM Jaya untuk mendata wilayah mana saja yang akan diberi pasokan air bersih gratis.
Ia mengakui, antisipasi dampak kemarau kali ini belum optimal karena masih bergantung pada PAM Jaya dalam menyuplai air bersih. Karena itu, pihaknya menyusun rencana pengolahan air baku di sejumlah waduk Ibu Kota. Dengan begitu, diharapkan pada tahun depan air waduk dapat dimanfaatkan sebagai air baku saat kemarau.
Juaini menyatakan telah menyiapkan anggaran untuk membeli mesin pengolah air waduk. Namun, dia enggan membeberkan jumlah total mesin yang dibeli dan harganya.
Dampak kekeringan di Jakarta, khususnya di bagian utara, antara lain sudah dirasakan warga RT 020 RW 017 Kelurahan Penjaringan atau yang dikenal sebagai Kampung Gedong Pompa.
Ketua RT 020 RW 017 Penjaringan Nurrachman mengatakan, jaringan air perpipaan belum masuk ke Gedong Pompa. Dalam kondisi itu, sebagian besar dari 800 keluarga (sekitar 1.600 jiwa) di wilayahnya bisa mendapatkan air tawar dari tanah. Sebagian lainnya bergantung pada air hasil membeli, baik saat kemarau maupun musim hujan, karena air tanah di tempat tinggal mereka asin.
Keluarga Nur termasuk yang harus membeli air bersih saat musim kemarau. Hampir dua bulan terakhir, pompa tidak mampu lagi menarik air dari sumur Nur.
Kini, dalam tiga hari ia harus membeli 160 liter air bersih jeriken atau pikulan Rp 28.000. ”Itu belum termasuk untuk mencuci (baju),” ujarnya.
Di Tangerang Selatan, salah satu lokasi yang mengalami krisis air adalah Kampung Koceak, Kelurahan Kranggan, dan Perumahan Pesona, Kademangan, Kecamatan Setu. Kemarin, sumur galian ataupun sumur bor milik warga Kampung Koceak mulai mengering. Di kampung ini belum ada jaringan pipa dari perusahaan daerah air minum.
Seperti pada sumur milik Sardani Naning (42), warga RT 003 RW 001 di Tangerang Selatan. Air di sumur sedalam 15 meter tersebut hanya bisa disedot dua kali sehari, yakni pagi dan sore hari. Selain berkurang, air sumur juga berlumpur. ”Airnya butek, sudah dikuras tetap saja begitu. Kalau dipaksa (sedot air), lumpur yang tersedot,” ucap Sardani.
Jawa Timur
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur juga mencari titik pembuatan sumur bor untuk mengantisipasi kekeringan yang terus berulang. Pembuatan sumur bor merupakan solusi jangka panjang agar warga tidak kesulitan mendapatkan air bersih saat kemarau.
Berdasarkan data BPBD Jatim, ada 28 kabupaten/kota yang mengalami kekeringan. Dari jumlah tersebut, 24 daerah masuk kategori kekeringan kritis. Adapun 15 daerah berstatus siaga darurat kekeringan.
”Dengan penetapan status ini, Pemerintah Provinsi Jatim bisa memberikan bantuan ke daerah tersebut,” kata Kepala Pelaksana BPBD Jatim Suban Wahyudiono, kemarin.
Kekeringan kritis terjadi ketika suplai air kurang dari 10 liter per orang setiap hari dan jarak pengambilan air lebih dari 3 kilometer dari tempat tinggal. Kekeringan kritis melanda 556 desa di 180 kecamatan yang ada di 24 daerah. Dalam kondisi normal, kebutuhan air 50 liter per orang setiap hari.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, pola penanganan dampak bencana kekeringan di Jatim dilakukan dengan sistem sinergi pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi dan dengan warga.
Di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kepala Bidang Logistik BPBD Karawang Ruchimat mengatakan, tujuh kecamatan di kabupaten itu mengalami krisis air bersih.
(JOG/SYA/MEL/DAN/BOW/GIO)