Kebijakan pemerintah pusat memblokir layanan internet di Papua Barat dinilai berlebihan. Kondisi yang berlangsung selama enam hari terakhir ini telah merugikan banyak warga. Bahkan, sejumlah warga dari wilayah pegunungan terpaksa turun gunung demi mencari sambungan Wi-Fi ke kota.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
MANOKWARI, KOMPAS — Kebijakan pemerintah pusat memblokir layanan internet di Papua Barat dinilai berlebihan. Kondisi yang berlangsung selama enam hari terakhir telah merugikan banyak warga. Bahkan, sejumlah warga dari wilayah pegunungan terpaksa turun gunung demi mencari sambungan Wi-Fi ke kota.
”Kata polisi di media bahwa kondisi sudah aman, tapi kenapa internet masih terus diblokir sampai hari keenam. Ini sudah sangat berlebihan. Sudah keterlaluan. Semua urusan yang berhubungan dengan internet macet total,” tutur Yacob, warga Manokwari yang terlibat jual beli secara dalam jaringan itu.
Yacob mengatakan hal itu dalam penerbangan dari Sorong ke Manokwari pada Sabtu (24/8/2019) pagi. Selama enam hari terakhir, dia tidak bisa memesan barang dari distributor di Pulau Jawa. Barang dimaksud adalah pakaian. Ia mengaku kehilangan pendapatan sekitar Rp 500.000.
”Presiden Joko Widodo selalu bilang bisnis berbasis digital, tapi bisnis ini sepertinya dibunuh. Kondisi sudah aman, tapi tetap diblokir. Masyarakat bisa marah nanti,” ujarnya.
Yairus Toansiba, operator SD Persiapan Usti, Kabupaten Pegunungan Arfak, bahkan memilih datang ke Manokwari setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam. Saat ditemui di salah satu kafe di Manokwari, dia sedang memasukkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dari sekolah mereka. Di kafe itu, banyak pelanggan lain juga memanfaatkan jaringan Wi-Fi.
Yairus berharap, pemblokiran internet segera dibuka. Saat ini, hampir semua urusan pendidikan di sekolah, terutama laporan ke tingkat atas, menggunakan sistem dalam jaringan. Jika terlambat melaporkan, ada hak guru atau sekolah yang pemenuhannya akan ditunda. Salah satu contohnya adalah sertifikasi guru.
Pemblokiran internet itu terjadi di hampir semua wilayah di Papua dan Papua Barat. Pemblokiran terjadi setelah kerusuhan di Manokwari dan Sorong, Papua Barat, serta unjuk rasa di Jayapura, Papua. Aksi unjuk rasa berujung anarki itu sebagai bentuk kekecewaan masyarakat di tanah Papua atas penghinaan bernada rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Barat Ajun Komisaris Besar Mathias Yosia Krey mengatakan, pemblokiran internet itu dilakukan untuk meredam gejolak di Papua. Siaran langsung aksi lewat media sosial memicu gerakan yang sama di sejumlah daerah seperti pada Senin lalu. ”Polisi sangat terbantu dengan pemblokiran internet,” katanya.
Pemblokiran internet itu dilakukan untuk meredam gejolak di Papua. Siaran langsung aksi lewat media sosial memicu gerakan yang sama di sejumlah daerah seperti pada Senin lalu.
Menurut dia, saat ini kondisi di Papua Barat belum benar-benar pulih meski gejolak di sejumlah kota berhasil diredam. Polri mendeteksi masih ada potensi gerakan setelah aksi beberapa hari terakhir ini. Gerakan itu biasanya menjadikan media sosial untuk menyebarkan provokasi dan kabar bohong. Polisi kerepotan mengatasi gerakan yang terjadi di banyak tempat itu.
Diberitakan sebelumnya, guna mencegah meluasnya kabar bohong yang dapat memperkeruh suasana di Papua dan Papua Barat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga Jumat kemarin masih melambatkan akses internet di daerah itu.
”Pemerintah menyimpulkan, situasi dan kondisi di beberapa kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat mulai pulih. Namun, distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif, dan rasis masih terbilang tinggi,” ujar Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu.
Hingga Jumat, setidaknya 33 item dan total 849 URL informasi hoaks dan provokatif terkait isu Papua telah diidentifikasi dan diverifikasi Kementerian Kominfo. Konten hoaks dan provokatif itu disebarkan ke ratusan ribu pemilik akun media sosial Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube (Kompas, 24/8/2019).