Pelantikan anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, periode 2019-2024, Sabtu (24/8/2019), diwarnai unjuk rasa oleh aktivis Malang Corruption Watch. Mereka mendesak anggota DPRD yang baru agar berbenah, mulai dari tidak mengulang korupsi massal oleh anggota dewan periode sebelumnya hingga optimalisasi penanganan berbagai masalah di masyarakat.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang, Jawa Timur, periode 2019-2024, Sabtu (24/8/2019), diwarnai unjuk rasa oleh aktivis Malang Corruption Watch. Mereka mendesak anggota DPRD yang baru agar berbenah, mulai dari tidak mengulang korupsi massal oleh anggota dewan periode sebelumnya hingga optimalisasi penanganan berbagai masalah di masyarakat.
Unjuk rasa dilakukan di pintu gerbang sisi barat Gedung DPRD Kota Malang. Selain membentangkan spanduk dan poster, mereka berorasi meminta legislator yang baru untuk bekerja sesuai ketentuan.
”MCW (Malang Corruption Watch) bersama masyarakat Kota Malang mendorong dan mendesak anggota DPRD Kota Malang yang baru memiliki komitmen pemberantasan korupsi. Optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya sekaligus mengembalikan kepercayaan publik,” kata Koordinator Badan Pekerja MCW M Fahrudin Ardiansyah.
Pendapatan Asli Daerah Kota Malang baru Rp 500 miliar. Padahal, MCW pernah melakukan riset, untuk parkir saja potensinya bisa mencapai Rp 144 miliar.
Koordinator aksi MCW, Hanif Abdul, mengatakan, ada beberapa fungsi yang diemban anggota dewan, mulai dari penganggaran, pengawasan, hingga legislasi. Dalam hal penganggaran, MCW melihat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang masih sangat kecil. Dari total APBD 2019 yang mencapai Rp 2,1 triliun, misalnya, PAD Kota Malang baru Rp 500 miliar. Padahal, MCW pernah melakukan riset, untuk parkir saja potensinya bisa mencapai Rp 144 miliar.
”Padahal, ekonomi Kota Malang terbilang sangat besar dilihat dari produk domestik bruto Rp 62 triliun. Sudah semestinya keriuhan ekonomi ini menyumbang perbaikan derajat kehidupan masyarakat,” katanya.
Masih soal penganggaran, MCW juga melihat terdapat alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satunya, pengadaan mobil pimpinan DPRD pada APBD 2019 yang mencapai Rp 5,8 miliar, kunjungan kerja Rp 12 miliar, dan peningkatan kapasitas Rp 7,5 miliar.
Demikian halnya dalam fungsi pengawasan, MCW berharap DPRD harus berani mendalami isu di masyarakat terkait kinerja organisasi perangkat daerah. DPRD harus bisa memaksimalkan penggunaan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.
Demikian pula soal fungsi legislasi, pembahasan peraturan daerah (perda) harus melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat. MCW, menurut Hanif, melihat beberapa proses legislasi yang tidak melibatkan masyarakat.
”Tahun 2019, DPRD melakukan revisi Perda Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Pada prosesnya, revisi tidak melibatkan unsur masyarakat yang concern memantau masalah pendidikan. Begitu pula Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum,” tutur Hanif.
Ketua DPRD Kota Malang sementara, I Made Rian DK, yang ikut menemui pengunjuk rasa, mengatakan akan memperhatikan aspirasi peserta aksi meski baru saja dilantik. Menurut Made, pihaknya harus belajar dari kejadian yang menimpa anggota dewan periode sebelumnya agar tidak terulang.
”Dari situ kami sudah banyak belajar. Yang terpenting dari itu semua adalah transparansi dan kolektif kolegial, kebersamaan, dan gotong royong. Jika bisa bersatu, kita bisa saling menjaga, mengawasi,” ucapnya.
Made berharap, semua anggota DPRD bisa berada dalam satu kesatuan untuk mengerjakan tugas-tugas kedewanan.