Kemajuan zaman dan gaya hidup yang serba dimudahkan oleh teknologi menjadi hambatan tersendiri yang membuat anak sulit menerima beragam permainan tradisional.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Tidak mudah untuk memperkenalkan dan mengajak anak-anak masa kini untuk menikmati permainan-permainan tradisional. Kemajuan zaman dan gaya hidup yang serba dimudahkan oleh teknologi menjadi hambatan tersendiri yang membuat anak sulit menerima beragam permainan khas dari masa lalu.
Penggagas Komunitas Badala dari Jombang, Jawa Timur, Afina Yanur, mengatakan, untuk memainkan permainan tradisional, biasanya dibutuhkan persiapan terlebih dahulu, baik alat maupun pendukungnya. Untuk bermain lompat tali, misalnya, anak-anak biasanya membuat tali dengan merangkai karet. Begitu pun untuk permainan sondah, semacam pertahanan benteng, anak harus mencari kapur berwarna-warni untuk membuat garis benteng.
Ketika permainan terasa merepotkan, biasanya anak-anak akan langsung berkilah malas dan mengatakan lebih baik bermain game di telepon selular.
Tidak hanya itu, permainan tradisional juga kerap menjadi rumit dimainkan karena memiliki berbagai macam teknik dengan perangkat berbeda-beda. Hal ini antara lain terjadi pada jentikan, permainan dengan teknik menjentikkan batang kayu. Permainan ini bisa dimainkan dengan 13 cara berbeda.
Dengan berbagai kondisi itu, menurut Afina, anak-anak biasanya kemudian langsung merasa enggan. “Ketika permainan terasa merepotkan, biasanya anak-anak akan langsung berkilah malas dan mengatakan lebih baik bermain game di telepon selular,” ujarnya, saat ditemui dalam Festival Tlatah Bocah XIII di Desa Sriwedari, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (25/8/2019).
Komunitas Badala adalah komunitas yang bergerak untuk melakukan pendampingan pada anak, mengenalkan mereka pada permainan-permainan tradisional, serta mendampingi anak untuk membuat berbagai kerajinan dengan berbahan dasar barang bekas.
Kendati demikian, Afina mengatakan, pihaknya tetap terus gencar mengenalkan permainan tradisional ke berbagai kota/kabupaten, seperti Jombang, Malang, Lumajang, dan Bojonegoro. Menurut dia, permainan ini perlu dikenalkan kembali karena di dalamnya terdapat nilai filosofis dan pembelajaran mendalam.
Seperti pada permainan sondah, anak-anak secara tidak langsung diajari untuk tidak menginjak atau mengusik tanah milik orang lain. Adapun pada permainan betengan, anak diberi pemahaman bahwa rumah atau sekolah harus menjadi tempat yang dilindungi dan dipertahankan oleh segenap penghuninya.
Bebas merdeka
Selain diberi pemahaman tentang makna filosofis, anak-anak pun harus tetap mendapatkan porsinya untuk berpikir dan bertindak bebas merdeka. Yoga Priatama (30), anggota komunitas batik Canting Kuning asal Salatiga, Jawa Tengah, mengatakan, untuk mengajari seni batik yang menjadi kesenian tradisional sekalipun, pihaknya tidak pernah memaksakan anak-anak untuk membuat motif batik kuno yang sudah populer.
Dalam membuat setiap goresan canting, anak-anak biasanya dibiarkan untuk menggambar apa saja. “Untuk anak-anak, saya biarkan mereka menjadikan batik sebagai media berekspresi saja,” ujar Yoga.
“Kebebasan” yang ditawarkan oleh Yoga direspons baik oleh anak-anak pengunjung Festival Tlatah Bocah XIII. Sedikitnya 10 siswa SD Negeri 1 Sriwedari, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, yang terlibat dalam kegiatan membatik, terlihat sangat antusias.
Mereka pun rela menunggu hingga karya mereka kering dijemur. Padahal, ketika menjemur, sebagian dari teman sekolah dan guru-guru mereka sudah terlebih dahulu mengajak pulang.
Khaila (12), siswa kelas 6 SDN 1 Sriwedari, mengaku ini adalah kali pertamanya membatik. Dia pun sangat berdebar-debar menanti tampilan warna motif batik buatannya usai dijemur. Dia mengatakan, membatik sangat mengasyikkan dan ingin dilakukannya lagi di rumah.
“Membatik itu jauh lebih seru karena harus hati-hati menggambar di atas kain menggunakan canting. Ini jauh lebih menantang dibandingkan menggambar di atas kertas,” ujarnya.