Mahasiswa di Palangkaraya Tuntut Penegakan Hukum Kasus Papua
Aksi solidaritas untuk peristiwa yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya digelar organisasi mahasiswa di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Aksi solidaritas untuk peristiwa yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya digelar organisasi mahasiswa di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selain doa bersama, mereka juga menuntut penegakan hukum terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam peristiwa itu.
Aksi tersebut dimulai pukul 20.00 di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, di Palangkaraya, Sabtu (24/8/2019). Kegiatan itu dihadiri puluhan mahasiswa dari berbagai organisasi, seperti Himpunan Mahasiswa Papua (Himapa), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangkaraya Santo Dionisius, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Badan Kerja Cabang Palangkaraya, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Palangkaraya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangka Raya, dan organisasi lain.
Aksi doa bersama itu dilakukan dengan berbagai tata cara, mulai dari Islam, Kristen, hingga Hindu-Kaharingan. Mereka juga menyalakan lilin tanda kekecewaan dan dukungan terhadap mahasiswa Papua yang diintimidasi di Surabaya dan Malang, beberapa waktu lalu.
”Di Palangkaraya, kami tidak pernah merasa ditindas atau ada diskriminasi. Kami merasa kecewa terhadap perlakuan seperti itu di Surabaya dan Malang. Kami minta pelakunya ditangkap dan diadili. Kalau dia oknum aparat, harus dipecat,” kata Yosafat Sani, Ketua Himapa.
Yosafat mengungkapkan, dengan adanya kejadian itu, negara dianggap gagal menjamin keamanan dan ketenteraman warga negaranya. Hal ini juga menunjukkan pemerintah belum serius menangani persoalan diskriminasi dan intimidasi.
Kepala Based Project Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalteng Aryo Nugroho menyatakan, terdapat undang-undang khusus untuk menangani persoalan diskriminasi dan intimidasi. Peristiwa yang terjadi terhadap mahasiswa Papua bukan masalah baru.
”Kasus sudah banyak, tetapi belum ada penegakan hukum serius. Ini akan mengundang masalah-masalah lainnya,” ujar Aryo.
”Pendekatan represif menggunakan senjata dan penambahan pasukan di Papua perlu dievaluasi karena tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Aryo.
Aryo mengungkapkan, LBH-YLBHI di 16 provinsi mencatat setidaknya terdapat 33 peristiwa diskriminasi dan intimidasi terhadap warga Papua yang mereka dampingi. Peristiwa serupa terjadi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, dan Papua. Namun, belum ada satu kasus pun yang selesai dalam proses hukum.
”Pendekatan represif menggunakan senjata dan penambahan pasukan di Papua perlu dievaluasi karena tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Aryo.
Hal serupa diungkapkan Koordinator Justice, Peace, and Integrity Creation (JPIC) Kalteng Frans Sani Lake. Menurut dia, peristiwa yang sudah terjadi sejak lama itu merupakan kesengajaan.
”Peristiwa ini terjadi di bulan kemerdekaan, bulan suci untuk Indonesia. Ini semua bydesign, bukan terjadi tiba-tiba,” kata Frans.
Frans mengungkapkan, aparat keamanan harus mengumpulkan fakta-fakta yang tercecer dan mengusut tuntas hingga tingkat auktor intelektualis di balik diskriminasi yang terjadi selama ini terhadap masyarakat Papua. ”Minta maaf saja tidak cukup, usut tuntas kasus ini,” katanya.