Bom Waktu Bencana di Konawe Utara
Awal Juni 2019, banjir bandang parah menghancurkan rumah dan lahan. Eksploitasi masif lingkungan di hulu dan hilir tidak terkendali.
KONAWE UTARA, KOMPAS Banjir bandang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, dua bulan lalu, membuka mata bahwa berbagai kerusakan lingkungan terjadi tanpa pengawasan berarti. Ancaman bencana lanjutan pun mengintai dari bukit yang dikupas, hutan yang hilang, dan sedimen parah hingga pesisir.
Banjir bandang di Konawe Utara membuat ribuan hektar sawah rusak, 20.000 warga terdampak, dan sedikitnya 370 rumah hanyut. Dua bulan setelah banjir bandang, tidak ada perbaikan pengelolaan lingkungan berarti yang terjadi.
Penelusuran Kompas di wilayah Konawe Utara, dari hulu sejumlah sungai di Langgikima hingga muara Sungai Lasolo di Molawe, awal Agustus lalu, menemukan masifnya pembukaan kawasan hutan. Pertambangan terus mengupas bukit curam, perkebunan sawit luas di bukit dan sempadan sungai, juga terus ada pembalakan hutan.
Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, pada ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut, lubang penggalian raksasa terlihat di lokasi penambangan nikel. Lubang ini berdiameter sekitar 100 meter dengan kedalaman lebih dari 30 meter. Di salah satu sudut, saluran air buatan, alirannya langsung menuju Sungai Laundolia di bawahnya.
Penambangan terus berlangsung. Tumpukan tanah menggunung. ”Penambangan mereka seperti tidak ada aturannya. Lokasi tambang di puncak bukit, dekat aliran sungai. Belum lagi kolam besar berisi air dan airnya dijatuhkan ke sungai. Ini sama saja mau mencelakakan warga di bawah,” kata Mustaman, Sekretaris Desa Tambakua, awal Agustus lalu. Lokasi itu satu jam dari desa.
Di sisi barat lokasi tambang pertama, jalan-jalan tambang terbentang. Tanah merah selebar 20 meter terbuka, mengarah ke berbagai perusahaan. Berjarak 3 kilometer, pertambangan lain terbuka luas.
Bukit-bukit terkupas dan timbunan material tanah tersebar. Memasuki pintu masuk ke perusahaan, tidak ada aktivitas. Hanya ada truk penuh kayu. ”Infonya, dalam penyelidikan polisi,” kata Mustaman. Polda Sultra membenarkan sedang menyelidiki aktivitas tambang tanpa kelengkapan izin dan memberhentikan sementara pertambangan.
Dua lokasi ini adalah segelintir dari pertambangan yang aktif di sana. Total ada tujuh izin usaha pertambangan (IUP) nikel di dekat kawasan Desa Tambakua. Sebagian telah beroperasi. Desa itu salah satu desa terdampak banjir bandang. Meski tidak menghanyutkan rumah, sekitar 50 hektar sawah di desa enam jam berkendara dari Kota Kendari ini rusak.
Hulu sungai
Desa Tambakua ada di bagian hulu dua sungai, yaitu Sungai Laundolia dan Sungai Langgikima. Keduanya mengalir ke Sungai Landawe. Aliran Sungai Landawe lalu menyatu dengan Lalindu yang bergabung lagi dengan Lasolo dan bermuara di Tapunggaya. Di bagian bawah, tak jauh dari permukiman warga Langgikima, perkebunan sawit terbentang ribuan hektar. Sebagian wilayahnya di tepi sungai.
Sungai-sungai dangkal dan berlumpur. Endapan lumpur berkisar 30-50 cm. Potongan kayu besar berserakan di pinggir sungai, sebagian terpotong rapi, banyak ditemukan. Alimuddin (47), warga Kelurahan Langgikima, mengatakan, banjir campur lumpur dialami warga dua tahun berturut-turut. Banjir itu yang pertama sejak ia tinggal di sana.
Bupati Konawe Utara Ruksamin, pertengahan Juni lalu, mengatakan tidak ingin terburu-buru menyalahkan tambang atau perkebunan terkait banjir. Data kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, beberapa saat setelah banjir, bencana karena berbagai faktor, antara lain curah hujan tinggi.
Ia tak menyebut faktor lain, yaitu pertambangan, perkebunan, penebangan liar, dan pendangkalan sungai. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sultra Andi Azis menyampaikan, pihaknya berusaha mengawasi aktivitas pertambangan. Itu dilakukan dengan kondisi pegawai dan anggaran terbatas.
Sepertiga Jakarta
Data yang dihimpun, di Konawe Utara terdapat 73 perusahaan yang beroperasi dengan lokasi pertambangan tersebar dari bukit hingga pesisir. Total luas IUP di Konawe Utara 207.800 hektar atau sekitar sepertiga luas DKI Jakarta. Luasan ini 41 persen total luas wilayah kabupaten.
Wahyu Prasetiyo, General Manager PT Karyatama Konawe Utara, perusahaan tambang di Langgikima, melalui surat elektronik, menolak dikaitkan dengan banjir. ”Perusahaan tak begitu aktif, sekitar 150.000 wet metric ton (WMT) saja. Sangat kecil untuk ukuran perusahaan tambang nikel,” tulisnya.
Untuk perkebunan, khususnya sawit, ada tiga perusahaan di Konawe Utara (Konut). Lokasi tanamnya tersebar. Budiman, Koordinator Umum PT Damai Jaya Lestari, perusahaan sawit seluas 6.000 hektar, mengatakan, jika pihaknya dikaitkan banjir, seharusnya banjir terjadi 2007-2009. Saat itu pembukaan masif.
”Banjir baru sekarang. Jadi, kami pikir bukan karena kami. Apalagi bisa dilihat, di sungai itu banyak potongan kayu,” katanya. Ia tak menampik jika sawit ditanam di sempadan sungai, bukit, juga hutan produksi.
La Ode Restele, akademisi Universitas Halu Oleo, mengatakan, banyak faktor membuat banjir kian parah. ”Banjir bandang ini akumulasi kerusakan lingkungan. Belum lagi sebagian wilayah Konut memang termasuk daerah risiko banjir tinggi,” kata peneliti risiko banjir di Konut pada 2016 ini. (JAL/VDL)