Dana Desa Belum Tekan Angka Kemiskinan di NTT
Selama empat tahun terakhir pengelolaan dana desa di Nusa Tenggara Timur belum berdampak signifikan menekan angka kemiskinan di daerah itu. Jumlah warga miskin cenderung naik seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
KUPANG, KOMPAS — Selama empat tahun terakhir pengelolaan dana desa di Nusa Tenggara Timur belum berdampak signifikan menekan angka kemiskinan di daerah itu. Jumlah warga miskin cenderung naik seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Sebanyak 55 kepala desa tersandung kasus korupsi. Di sisi lain, sumber daya kepala desa masih jauh di bawah standar. Pengembangan desa pariwisata diharapkan dapat mendongkrak perekonomian warga.
Sekretaris Daerah Provinsi NTT Benediktus Polo Maing pada Rapat Koordinasi Pembahasan dan Evaluasi Dana Desa di Kupang, Senin (26/8/2019), mengatakan, setiap desa dan kabupaten/kota di NTT harus bersinergi dengan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Jangan sampai kebijakan pusat dan pemprov tidak ditindaklanjuti pemkab/pemkot dan desa-desa di NTT.
”Memang kita semua bekerja untuk menyejahterakan masyarakat, tetapi alokasi dana desa sejak 4 tahun terakhir dengan total dana sekitar Rp 10,592 triliun belum mampu menekan angka kemiskinan di daerah ini. Ini menjadi masalah baru,” kata Polo Maing.
Alokasi dana desa sejak empat tahun terakhir dengan total dana sekitar Rp 10,592 triliun belum mampu menekan angka kemiskinan di daerah ini. (Benediktus Polo Maing)
Jumlah warga miskin di NTT per Maret 2019 sebanyak 1,3 juta dari total penduduk 5,3 juta jiwa. Angka warga miskin ini cenderung meningkat. Tahun 2012 warga miskin sebanyak 1.275.000 jiwa dari total penduduk 4,1 juta jiwa.
Peningkatan jumlah penduduk tidak diikuti dengan peningkatan lapangan kerja, sumber daya manusia, sarana dan prasarana publik, serta peningkatan pendapatan per kapita, yakni Rp 10,7 juta sejak 2015. Kekeringan menjadi pemicu utama gagal panen yang berdampak terhadap stunting, rawan pangan, dan gizi buruk.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa NTT Sinun Petrus Manuk mengatakan, tahun ini saja alokasi dana desa sebesar Rp 3,020 triliun. Itu berarti rata-rata satu desa mendapat dana Rp 1 miliar. Sebanyak 3.026 desa di NTT mendapatkan dana desa sejak 2015.
Dalam tenggat waktu empat tahun itu pula, sebanyak 55 kepala desa terlibat kasus korupsi. Sebanyak 10 kepala desa sudah keluar dari penjara, 12 kepala desa masih dalam penjara, 15 kepala desa dalam proses penyidikan, dan 11 kepala desa dalam penyelidikan. Adapun tujuh kepala desa dalam proses pengumpulan berkas dan keterangan terkait penyalahgunaan dana desa. Hampir semua kabupaten memiliki kasus hukum yang dilakukan oleh aparat desa terkait pengelolaan dana desa.
Dalam tenggat waktu empat tahun itu pula, sebanyak 55 kepala desa terlibat kasus korupsi. (Sinun Petrus Manuk)
Karena itu, sejak 2017, pemerintah melibatkan aparat kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan deteksi dini tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh kepala desa dan staf. Sosialisasi pengelolaan dana desa oleh aparat penegak hukum terus digalakkan, tetapi kasus korupsi oleh kepala desa masih saja terjadi.
”Saya tahu ada upaya-upaya dari oknum kepala desa memanfaatkan dana desa untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dengan cara-cara yang tidak benar. Misalnya, empat tahun terakhir fokus pembangunan bidang infrastruktur, padahal, semua pekerjaan infrastuktur di desa itu sudah selesai pada tahun kedua, kecuali pekerjaan tertentu seperti pembangunan embung desa,” kata Petrus.
Di bawah standar
Aneka masalah muncul karena sumber daya kepala desa masih jauh di bawah standar. Sesuai ketentuan, kepala desa harus lulusan SMA atau sederajat. Namun, di NTT masih ada ratusan kepala desa berijazah paket B yang dipilih masyarakat.
Petrus mengatakan, UU Desa juga menetapkan jabatan seorang kepala desa enam tahun dan boleh menduduki jabatan itu sampai tiga periode atau 18 tahun memimpin jika kepala desa bersangkutan dipilih tiga kali oleh masyarakat. Tenggat waktu ini dinilai terlalu lama karena membuat kepala desa berpotensi jenuh memimpin, cenderung arogan, ingin menguasai tanpa batas, dan masyarakat jenuh dengan kepala desa yang tidak memiliki inovasi dan kreativitas.
Menurut Petrus, nuansa politik dalam pemilihan kepala desa sangat tinggi setelah ada dana desa. Praktik politik uang pun tidak terhindarkan. Kandidat yang paling berpeluang memimpin kembali adalah kepala desa petahana. Mereka selalu menang karena menggunakan politik uang. Dari mana uang itu berasal, patut dicurigai.
Memang, lanjut Petrus, ada pendamping desa yang mempunyai tugas dan tanggung jawab mengingatkan aparat desa agar dana desa sesuai sasaran. Akan tetapi, pendamping desa itu datang ke desa sebulan sekali.
Membangun rumah
Ia mengatakan, guna menekan angka kemiskinan yang ada, pada tahun 2020, dana desa digunakan untuk membangun rumah warga miskin. Setiap tahun dibangun 10 unit rumah. Setiap unit rumah dibangun dengan anggaran Rp 50 juta oleh warga dan pemilik rumah melalui proyek padat karya dari dana desa.
”Mengenai bentuk rumah akan dibahas bersama, apakah diseragamkan atau disesuaikan dengan tipe rumah adat di setiap kabupaten/kota. Rumah ini diperuntukkan bagi warga yang selama ini berdiam di rumah berlantai tanah dengan tiang langsung tanam di tanah. Selain itu, berdinding pelepah lontar atau bambu, daun lontar atau daun kelapa,” kata Manuk.
Baca juga : Belajar dari Anomali Kemiskinan Nusa Tenggara Timur
Selain itu, mulai 2020 fokus utama dana desa adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Porsi pemberdayaan ekonomi ditetapkan 78 persen, infrastruktur 2 persen, dan sumber daya manusia 20 persen. Sasarannya terutama untuk menekan angka kemiskinan.
Desa-desa juga diwajibkan melakukan musyawarah desa untuk membahas apa saja usaha kecil menengah yang dikembangkan di desa itu. Warga harus dibatasi agar tidak memilih usaha yang seragam. Misalnya, satu membuat kios bahan pokok, yang lain harus memilih usaha di sektor lain.
Desa wisata
Kepala Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Carolus Vitalis mengatakan, tahun ini ia mengelola dana desa senilai Rp 1 miliar. Pencairan dana sudah mencapai tahap kedua atau sesuai tahapan pencairan.
Desa Liang Ndara adalah salah satu desa wisata di Manggarai Barat. Di sana ada sanggar budaya desa dan 30 homestay. Sebanyak 17 unit homestay sudah beroperasi, sementara sisanya masih dalam proses pembenahan.
Baca juga : NTT Atasi Kemiskinan dengan Prukades dan Ubah Pola Pikir Generasi Muda
”Masalah umum yang dihadapi desa-desa di Manggarai Barat terkait pengelolaan dana desa, yakni rendahnya sumber daya manusia untuk mengelola potensi sumber daya alam, pasar untuk penjualan hasil-hasil produksi pertanian dan perkebunan tidak ada, dan kreativitas dan inovasi dari warga desa masih rendah. Ini masalah yang dihadapi terkait desa wisata,” kata Vitalis.
Ia mengatakan, saat ini sedang melakukan pelatihan kepada 50 pemuda desa untuk mengelola sumber daya alam setempat berupa usaha tenun ikat, kerajinan bambu, topi khas Manggarai, kuliner lokal, dan kopi Manggarai untuk wisatawan yang berkunjung. Ia juga mengutus sejumlah pemuda desa itu untuk mengikuti kursus bahasa Inggris guna mendukung pariwisata di desa itu.
Saat ini, jumlah penduduk Desa Liang Ndara 1.405 jiwa atau 280 keluarga. Sebanyak 58 keluarga termasuk warga miskin. Namun, jumlah warga miskin ini terus menurun dibandingkan sebelum 2015, yakni 255 keluarga. Penurunan angka kemiskinan ini terkait kehadiran wisatawan di desa itu sejak 2014.
Baca juga : NTT Terpilih Menjadi Provinsi Percontohan Indonesia Development Forum 2019