Edukasi Masyarakat Jadi Strategi Antisipasi Ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Potensi munculnya laporan pelanggaran kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik masih besar. Oleh karena itu, edukasi kepada masyarakat agar berinternet dengan cerdas sangat penting agar mereka tidak terjerat dan ikut menjadi korban undang-undang tersebut.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Potensi munculnya laporan pelanggaran kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik masih besar. Oleh karena itu, edukasi kepada masyarakat agar berinternet dengan cerdas sangat penting agar mereka tidak terjerat dan ikut menjadi korban undang-undang tersebut.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Muhammad Arsyad di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (26/8/2019) mengatakan, Indonesia termasuk negara dengan jumlah pengguna media sosial yang cukup besar.
Hasil survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia berjudul ”Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017” yang dirilis pada awal 2018 menunjukkan, pengguna internet pada 2017 meningkat dari 132,7 juta orang menjadi 143,26 juta orang. Tingkat penetrasinya mencapai 54,68 persen. Sebanyak 87,13 persen menggunakan internet untuk media sosial (Kompas,23 Januari 2019).
Menurut Arsyad, tingginya pengguna media sosial membuat potensi masyarakat terjerat pelanggaran Undang-Undang ITE juga tinggi. Apalagi pada saat yang sama, masih banyak yang tidak paham dengan bahaya undang-undang itu.
Arsyad memaparkan, dari data 290 kasus yang mereka advokasi dan dampingi, sebanyak 60 persen di antaranya terjerat karena tidak paham.
Sebagian besar di antara mereka terjerat Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi “Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
“Mereka berpikir bahwa apa yang diungkap (di media sosial) adalah fakta dan realita. Tetapi mereka tidak tahu kalau itu bisa berdampak hukum,” kata Arsyad yang ke Mataram bersama rombongan untuk menyerahkan donasi kepada Baiq Nuril Maknun.
Arsyad mencontohkan, adaanggota PAKU ITE yang menggunakan media sosial untuk menceritakan fakta tentang kronologi kasus dugaan pelecehan seksual. Alih-alih prosesnya ditindaklanjuti oleh pihak terkait, anggota PAKU ITE itu justru dijerat dengan UU ITE.
Mereka berpikir bahwa apa yang diungkap (di media sosial) adalah fakta dan realita. Tetapi mereka tidak tahu kalau itu bisa berdampak hukum, kata Arsyad
Selain itu, menurut Arsyad, masyarakat menganggap bahwa jeratan UU ITE hanya terkait dengan penyebaran hoaks, berita bohong, dan lainnya. Padahal, hal-hal yang dianggap lumrah seperti mengomentari kekurangan fisik orang lain (body shaming)juga bisa membuat mereka terjerat UU ITE.
“Fenomena saat ini, masyarakat juga mulai melupakan kebiasaan kita yakni musyawarah dan mediasi. Salah satu anggota kami misalnya dilaporkan oleh kakak iparnya sendiri,” tutur Arsyad.
Oleh karena itu, menurut Arsyad, edukasi masyarakat menjadi sangat penting agar mereka menggunakan internet secara cerdas. PAKU ITE juga terus mendorong hal itu.
Edukasi masyarakat itu, kata Arsyad, dilakukan dengan seminar-seminar di perguruan tinggi. “Selain itu, kami juga akan membuat buku saku dalam bentuk cerita korban dan pandangan ahli pidana, ahli ITE, dan ahli bahasa terkait bagaimana agar tidak terjerat UU ITE,” kata Arsyad.
Arsyad menambahkan, mereka juga akan memberikan informasi terkait proses hukum mulai dari sejak menjadi terperiksa, sebagai saksi, hingga putusan inkrah. “Kami juga akan memanfaatkan media sosial untuk berbagi tips agar terhindar dari kasus ITE sekaligus sebagai wadah untuk konsultasi,” kata Arsyad.
Baiq Nuril yang baru mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo atas kasus pelanggaran UU ITE yang menjeratnya, juga berharap masyarakat lebih berhati-hati ketika menggunakan media sosial.
“Harus lebih bijak juga. Sebelum mengunggah sesuatu, dipikirkan lebih dahulu apakah itu bisa berguna untuk orang banyak atau tidak,” kata Nuril.
Dorong revisi
Menurut Arsyad, kasus Baiq Nuril telah membuka mata banyak pihak, termasuk legislator bahwa ada sejumlah pasal karet dalam UU ITE. “Tetapi kami sadar, kalau mereka (anggota DPR) mengeluh itu bahaya dan tidak ditindaklanjuti dengan segera, artinya korban akan bertambah,” kata Arsyad.
Oleh karena itu, kata Arsyad, mereka terus mendorong misalnya agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait UU ITE. “Selain itu, kami juga melakukan negosiasi dengan pemerintah dan DPR untuk mengajukan revisi UU ITE. Terutama penghapusan pasal-pasal yang dianggap lebih banyak mengkriminalisasi warga negaranya,” kata Arsyad.
Hal yang paling memungkinkan, kata Arsyad, adalah mendorong agar UU ITE masuk hukum perdata. “Kalau di perdata, pelapor dan terlapor mempunyai hak yang sama untuk saling membuktikan apa yang dianggap benar. Kalau di pidana, kami akan melawan pemerintah,” kata Arsyad.
Sejalan dengan itu, kata Arsyad, upaya advokasi dan pendampingan juga terus dilakukan. Termasuk pemulihan trauma. “Pemulihan trauma, menghilangkan rasa takut, ini termasuk yang paling berat. Tidak hanya korban, tetapi juga keluarganya. Saya saja, baru ungguh sesuatu di media sosial, keluarga langsung minta hapus,” tutur Arsyad yang terjerat kasus pelanggaran UU ITE pada 2013 karena status Blackberry-nya menyinggung perasaan seseorang dan melaporkannya ke polisi. Arsyad divonis bebas pada 2014.
Hingga saat ini, PAKU ITE terus mencari cara untuk menyelesaikan hal itu. Menurut Arsyad, yang bisa mereka lakukan adalah terus bertemu. “Dalam kesempatan itu, kami saling bercerita kasus dan berbagai pengalaman. Tujuannya untuk saling menguatkan,” kata Arsyad.
Vivi Nathalia, penyanyi dan guru piano yang terjerat kasus ITE karena pencemaran nama baik mengatakan, ketika terlibat kasus tersebut, ia stress. Beruntung, dukungan dari sesama anggota PAKU ITE membuatnya terus maju menghadapi proses hukum tersebut. Hingga saat ini, kasus Vivi masih dalam proses pengadilan.