Para pegiat buku menyerukan perlawanan terhadap para pembajak. Itu didasari keprihatinan terhadap tindak pembajakan buku yang kian merajalela. Kini, buku bajakan seperti dijual bebas dan terang-terangan, baik di kios buku maupun portal belanja dalam jaringan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Para pegiat buku menyerukan perlawanan terhadap para pembajak. Itu didasari keprihatinan terhadap tindak pembajakan buku yang kian merajalela. Kini, buku bajakan seperti dijual bebas dan terang-terangan, baik di kios buku maupun portal belanja dalam jaringan.
Keprihatinan itu disuarakan 12 penerbit di Yogyakarta yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) dalam salah satu rangkaian acara Mocosik Festival, di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Minggu (25/8/2019). Mereka, bersama sejumlah penulis mendeklarasikan keseriusan melawan pembajakan buku dalam acara tersebut. Beberapa buku yang kerap dibajak, antara lain karya-karya dari penulis ternama, seperti Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Tere Liye, Eka Kurniawan, hingga Puthut EA.
Hisworo Banuarli, penggerak KPJ, mengatakan, salah satu bentuk keseriusan mereka melawan pembajakan buku itu ditunjukkan dengan pelaporan kepada Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY), tentang aktivitas pembajakan buku di Yogyakarta, Jumat (23/8/2019). Dalam pelaporan itu, KPJ didampingi Ikatan Advokat Indonesia Yogyakarta.
Perjuangan sangat berat. Banyak penerbit besar kalah dengan pembajak buku. Penerbit yang tidak besar juga susah melawan pembajak buku
”Perjuangan sangat berat. Banyak penerbit besar kalah dengan pembajak buku. Penerbit yang tidak besar juga susah melawan pembajak buku. Maka, kita bergabung bersama. Di kota penerbitan buku dan kota pelajar ini, kita ingin menyuarakan bersama (perlawanan) tentang pembajakan buku ini,” kata Hisworo.
Pemimpin Penerbit Gading Hairuz Salim mengatakan, pembajakan buku sudah dilakukan tanpa malu-malu dan sembunyi-sembunyi lagi. Ada penjual yang berani menawarkan buku bajakan yang dijualnya secara terang-terangan kepada pembelinya. Belum lagi ada yang berani menjual produk bajakan itu lewat portal belanja dalam jaringan dengan harga yang jauh lebih miring, dibandingkan yang dikeluarkan penerbit aslinya.
”Sekarang praktik pembajakan lebih telanjang dan terbuka. Terdapat pedagang yang bilang kepada pembelinya, bahwa mereka punya buku KW (bajakan) dari yang dicari si pembeli,” tutur Hairuz.
Menurut Hairuz, kondisi itu sangat memprihatinkan. Ia khawatir pada masa mendatang tidak ada lagi industri penerbitan. Orang juga tidak lagi mau menjadi penulis karena karya-karya yang sudah dihasilkan tidak dihargai oleh pembaca. Terlebih jika pembaca lebih memilih produk bajakan daripada buku aslinya.
”Kalau ini dibiarkan, bisa-bisa peradaban menulis bakal mati. Penulis tidak mau menulis lagi. Penerbit tidak ada yang mau menerbitkan buku. Sebab, menerbitkan buku itu tidak mudah. Prosesnya panjang dan biayanya tidak sedikit,” kata Hairuz.
Hal serupa diungkapkan penulis buku Agus Noor. Ia mengkhawatirkan, industri penerbitan buku hancur dengan maraknya pembajakan. Kondisi serupa pernah terjadi di industri musik, di mana pembajakan kaset atau CD juga sama maraknya.
”Ini bukan hanya persaingan bisnis. Ini (pembajakan buku) adalah kejahatan moral. Bagaimana peradaban yang berusaha dibangun melalui literasi dihancurkan pembajakan,” kata Agus.
Agus menambahkan, pola pikir masyarakat dalam mengonsumsi bacaan perlu diubah. Kesadaran moral untuk membeli buku dari penerbit asli itu harus ditingkatkan. Sebab, dengan melakukan hal tersebut, pembaca ikut menghargai jerih payah si penulis.
”Kesadaran literasi tidak sekadar memiliki buku atau menggandakannya. Tetapi, ada pula kesadaran menghargai buku. Di sana, ada persoalan peradaban,” kata Agus.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Ikadin Yogyakarta Ariyanto mengungkapkan, ditempuhnya jalur hukum untuk menindak para pembajak buku merupakan langkah yang penting. Hal itu dinilainya mampu menciptakan suasana akademis yang adil dan bermoral. Pembajakan buku merupakan ironi dengan citra Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar.