Produktivitas dan Harga Lada Hitam Lampung Merosot
Produktivitas lada hitam Lampung terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Petani pun semakin terpuruk dengan anjloknya harga komoditas tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·2 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Produktivitas lada hitam Lampung terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Selain pola budidaya yang tidak tepat dan hama penyakit, penurunan produksi juga dipicu masalah kekeringan. Petani pun semakin terpuruk dengan anjloknya harga komoditas tersebut.
Ketua Dewan Rempah Provinsi Lampung Untung Sugiyatno mengungkapkan, banyak permasalahan terkait budidaya lada yang mendesak diselesaikan. Selain produksi lada yang kian turun, luas kebun lada di Lampung juga semakin berkurang.
“Sekitar tahun 2000, luas perkebunan lada di Lampung mencapai 120.000 hektar. Saat ini hanya tersisa sekitar 45.000 hektar,” ujar Untung, di Bandar Lampung, Senin (26/8/2019).
Pada 2017, luas kebun lada di Lampung tercatat 45.778 hektar dengan produksi lada hitam sebanyak 13.771 ton. Jumlah itu berkurang dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 46.054 hektar dengan jumlah produksi lada hitam sebanyak 14.854 ton.
Permasalahan lainnya, petani tidak menerapkan pemupukan dan pengolahan pascapanen yang tepat. Serangan hama dan tidak tersedianya air saat musim kering membuat produksi lada semakin tidak optimal. Saat ini, produktivitas rata-rata lada hitam hanya sekitar 400 kilogram per hektar. Padahal, produksi lada hitam Lampung masih bisa dioptimalkan hingga 2 ton per hektar.
Merosotnya harga membuat banyak petani beralih ke tanaman lain. Saat ini, harga lada di tingkat petani berkisar Rp 30.000–Rp 40.000 per kg. Harga itu merosot dibanding pada 2015 yang mencapai lebih dari Rp 100.000 per kg. Kondisi ini dikhawatirkan membuat komoditas unggulan Lampung itu semakin redup.
Untuk itu, Untung mendesak agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah membenahi tata kelola perkebunan lada Lampung. Diperlukan program intensifikasi dengan pemberian pupuk organik pada tanaman lada petani. Selain itu, tanaman lada perlu disiram agar tidak mati.
Sebagian petani memilih menebang tanaman lada dan menggantinya dengan tanaman jagung atau singkong yang tidak membutuhkan banyak air.
Ketua Indikasi Geografis Lada Hitam Lampung Supangat menuturkan, sertifikat indikasi geografis belum mampu memberikan kepastian harga. Kondisi itu membuat petani kian terpukul dan enggan mempertahankan tanaman lada mereka.
“Sebagian petani memilih menebang tanaman lada dan menggantinya dengan tanaman jagung atau singkong yang tidak membutuhkan banyak air,” kata Supangat. Dia berharap, pemerintah segera menyusun program untuk pemulihan produksi lada. Jika tidak, akan semakin banyak petani yang beralih ke tanaman lain.
Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Provinsi Lampung Taufik Hidayat menuturkan, Pemprov Lampung akan membuat program pembinaan untuk petani lada. Saat ini, pemerintah sedang fokus menyusun program untuk mengatasi permasalahan hama dan kekeringan.