Kreasi dan Inovasi Tenun NTT Mutlak Agar Berdaya Saing Internasional
Perajin tenun Nusa Tenggara Timur mesti terus berkreasi dan berinovasi untuk menghasilkan kerajinan tenun yang berdaya saing internasional. Motif-motif tenun NTT juga mesti mendapat sertifikat hak kekayaan atas intelektual untuk meningkatkan kesejahteraan para perajin.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS - Perajin tenun Nusa Tenggara Timur mesti terus berkreasi dan berinovasi untuk menghasilkan kerajinan tenun yang berdaya saing internasional. Motif-motif tenun NTT juga mesti mendapat sertifikat hak kekayaan atas intelektual untuk meningkatkan kesejahteraan para perajin.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Ny Mufidah Kalla dalam dialog bersama perajin, pengusaha, dan pengurus Dewan Kerajinan Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang, Rabu (28/8/2019). Menurut Mufidah, Indonesia patut berbangga atas keragaman motif tenun ikat di NTT. Motif-motif itu bervariasi, unik, dan berbahan baku lokal.
“Tetapi jangan terlena dengan keragaman motif. Tenun NTT sedang bersaing dengan sejumlah tenun dari mancanegara. Karena itu, upaya kreasi dan inovasi harus terus didorong untuk menghasilkan kerajinan tenun yang berdaya saing global,” pesan Mufidah.
Saat ini, produk kerajinan dengan kreasi dan inovasi tinggi berkembang begitu cepat. Perkembangan ini ditentukan sumber daya manusia. Kreasi dan inovasi bisa terinspirasi sejumlah kearifan lokal dan penguasaan teknologi digital.
Menurut Mufidah, dalam “World Ikat Textile Symposium” di Jakarta pekan lalu, semua negara peserta sangat mengapreasiasi tenun NTT. Hal ini merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan bagi para perajin termasuk pemerintah daerah. Tantangan itu tidak hanya menyangkut keberadaan tenun ikat NTT tetapi juga pemasaran.
Tradisi menenum merupakan warisan budaya. Bahkan, zaman dulu, anak perempuan yang belum pandai menenun tidak bisa menikah. Sebagian wilayah di NTT masih memberlakukan aturan itu. Ini sebagai bentuk mempertahankan kearifan lokal.
Mufidah menambahkan, tenun NTT merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual masyarakat sehingga harus didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM sehingga tidak dijiplak atau ditiru daerah lain. Tenun ikat Sikka, Alor, dan Tenun Songket Alor misalnya, sudah mendapat sertifikasi indikasi geografis dari Kementerian Hukum dan HAM. Daerah lain pun harus berjuang mengusulkan hak yang sama sehingga tidak ditiru atau dipalsukan pihak lain.
"Dekranasda harus membantu perajin memperluas jaringan pemasaran hingga mancanegara. Jangan sampai hasil kerajinan ditumpuk begitu saja di rumah karena tidak tahu cara memasarkannya," tutur Mufidah.
Sementara itu, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah NTT Julie Sutrisno Laiskodat mengatakan, persaingan usaha tenun di masyarakat NTT dan Indonesia sangat ketat. Untuk itu, dia mengingatkan agar perajin tidak hanya menenun, tetapi juga selalu melihat peluang pasar dan prospek.
Dalam sesi tanya jawab, Ketua Dekranasda Lembata Ny Yentji Sunur mempersoalkan motif-motif tenun NTT yang sudah dicetak dan dipublikasi secara besar-besaran di Jawa Tengah. Hal ini tentu sangat merugikan para perajin di NTT karena semua motif dari 22 kabupaten/kota di NTT sudah ditiru di daerah itu.
“Kami minta dukungan Dekranas yang menangani hak kekayaan intelektual kerajinan trandisional untuk segera memroses hak kekayaan intelektual ini. Sebagian besar daerah sudah mengajukan hak itu tetapi proses mendapatkan sertifikat itu begitu lama,” kata Ny Sunur.
Di kalangan perajin tenun, permodalan menjadi salah satu kendala. Katarina Dhiu (45) perajin tenun Kota Kupang, misalnya, meminta dukungan dana dari Dekranas termasuk untuk pengadaan alat-alat tenun dan pemasaran. "Perajin itu menghabiskan waktu sampai satu bulan untuk menghasilkan satu lembar kain tenun. Setelah jadi, itu pun sulit dipasarkan," keluhnya.