Penggunaan dana desa di Jawa Tengah belum optimal dalam aspek menggerakkan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat. Sejauh ini fokusnya masih pembangunan infrastruktur fisik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Penggunaan dana desa di Jawa Tengah masih terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik. Padahal, dana desa juga dapat dimanfaatkan untuk hal-hal bersifat investasi seperti menggerakkan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat.
Menurut data Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil (Dispermadesdukcapil) Jateng, belanja dana desa (DD) pada 2018 didominasi sarana dan prasarana (sarpras), yakni 67,37 persen. Adapun porsi pemberdayaan masyarakat hanya 10,91 persen.
Belanja desa yang bersumber dari DD di Jateng lainnya yakni 16,83 persen untuk prasarna dan sarana dasar, 1,92 persen untuk sarpras ekonomi, 0,55 persen untuk sarpras lingkungan, 0,29 persen untuk penyelenggaran pemerintah desa, dan 1,21 persen untuk sarpras lainnya.
Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa Dispermadesdukcapil Jateng Nadi Santoso, di Kota Semarang, Senin (29/8/2019), mengatakan, pembangunan infrastruktur jalan lebih mudah untuk dilihat hasilnya. Hal itu membuat desa terus mengulangnya dari tahun ke tahun.
"Selain itu, laporan pertanggungjawabannya pun lebih mudah karena biasanya berupa bukti belanja material, penyewaan alat, dan upah tenaga kerja. Hasilnya kelihatan. Sementara, untuk pemberdayaan masyarakat, hasilnya baru bisa terlihat 5-10 tahun," ujar Nadi.
Kami terus mengadvokasi ini. Namun, itu belum cukup karena harus didukung peran serta masyarakat.
Beberapa keperluan untuk program pemberdayaan masyarakat, lanjut Nadi, juga masih kerap dianggap sulit oleh perangkat desa. Misalnya, dalam menyelenggarakan pelatihan, perangkat desa perlu mencari pelatih, membuat kerangka acuan, dan juga kurikulum.
Nadi menuturkan, pembangunan infrastruktur juga perlu, tetapi pemberdayaan masyarakat dan ekonomi juga penting agar ada peningkatan kualitas penggunaan DD. "Kami terus mengadvokasi ini. Namun, itu belum cukup karena harus didukung peran serta masyarakat," katanya.
Upaya advokasi itu, kata Nadi, juga didukung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) lewat tim pelaksana inovasi desa. Salah satu kegiatannya yakni bursa inovasi desa, agar antardesa bisa saling mereplikasi program inovatif.
Koordinator Konsultan Pendamping Wilayah (KPW) Kemendes PDTT wilayah Jateng Evy menambahkan, penggunaan dana desa adalah kewenangan masing-masing desa. "Dorongan inovasi lebih mengarahkan dengan lembut. Bukan lewat pendekatan struktur dan regulasi," ucapnya.
Pada 2019, pemerintah pusat menggelontorkan dana desa Rp 7,89 triliun untuk 7.809 desa di Jateng. Angka itu meningkat dari 2018, yakni sebesar Rp 6,74 triliun untuk jumlah desa yang sama.
Sebelumnya, kepala desa di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Saridjo, mengatakan, pihaknya merasa perlu memanfaatkan dana desa untuk keperluan lain selain infrastruktur. Misalnya, untuk penyediaan layanan perbankan dan akses pinjaman bagi warga.
Hal itu penting sebagai investasi apabila suatu waktu tak ada lagi dana desa. "Pembinaan dan pemberdayaan masyarakat juga perlu dipikirkan untuk ke depannya agar masyarakat mandiri," kata Saridjo.