Lagu Sasak Sebagai Sarana Mitigasi Bencana di Lombok
Majelis Adat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat mulai menginiasi penulisan lagu-lagu berbahasa Sasak tentang kebencanaan. Upaya itu dinilai efektif dalam membangun kesadaran dan kewaspadaan masyarakat akan potensi bencana di daerah mereka .
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Majelis Adat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat mulai menginiasi penulisan lagu-lagu berbahasa Sasak tentang kebencanaan. Upaya itu dinilai efektif dalam membangun kesadaran dan kewaspadaan masyarakat akan potensi bencana di daerah mereka .
Lalu Ari Irawan selaku Sekretaris Dua Majelis Adat Sasak (representasi masyarakat adat Sasak yang memberikan petuah tentang adat Sasak) dalam acara Dialog Kebijakan Satu Tahun Penanganan Gempa Bumi NTB di Mataram, Jumat (30/8/2019) mengatakan, kesenian selama ini dikenal sebagai salah satu media penyampai pesan yang tidak hanya cepat, tetapi juga gampang masuk dalam ingatan masyarakat.
"Masyarakat Sasak biasanya memiliki tradisi lisan untuk menceritakan berbagai hal, termasuk kejadian-kejadian yang mereka alami. Tetapi ada kekhawatiran, seiring waktu ingatan tentang cerita itu akan hilang. Tetapi kalau lewat kesenian atau lagu, Kami yakin mereka akan ingat terus," kata Ari.
Menurut Ari, berangkat dari hal itu, mereka kemudian mendorong penulisan lagu-lagu berbahasa Sasak tentang kebencanaan. Saat ini, lagu tersebut sedang dalam proses penggarapan oleh salah satu kelompok Cilokak yang berada di Lombok Tengah.
Masyarakat Sasak biasanya memiliki tradisi lisan untuk menceritakan berbagai hal, termasuk kejadian-kejadian yang mereka alami. Tetapi ada kekhawatiran, seiring waktu ingatan tentang cerita itu akan hilang. Tetapi kalau lewat kesenian atau lagu, Kami yakin mereka akan ingat terus, kata Ari.
Cilokak adalah salah satu jenis musik tradisional Sasak (suku asli pulau Lombok) yang memadukan alat musik seperti gendang, mandolin, biola, suling, jidur (rebana), kempul (alat musik tabuh), dan rincik (alat musik petik). Cilokak masih populer di masyarakat Sasak hingga saat ini.
Ari menambahkan, mereka tidak membatasi jumlah lagu yang akan ditulis. Hanya saja, menurut Ari, isi-isi lagu dibuat tematis.
"Ada tiga tema yakni mengingat kejadian (terkait gempa 2018), lagu berisi peringatan dini tentang bencana dan bagaimana menyelamatkan diri, serta tentang bagaimana mereka bangkit atau pulih pasca bencana," kata Ari.
Menurut Ari, pada akhir tahun, mereka menargetkan bisa menyelesaikan masing-masing satu lagu sesuai tema. Lagu itu, selanjutnya akan didistribusikan atau diperkenalkan ke masyarakat.
"Selain kelompok Cilokak binaan kami itu berkeliling, juga akan digelar diskusi atau dialog dengan pelaku kesenian agar lagu-lagu itu bisa diadopsi dalam bentuk kesenian lain. Misanya Kecimol (orkes jalanan di Lombok)," kata Ari.
Ari optimistis pendekatan kearifan lokal itu bisa efektif. Tidak dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang. "Di Lombok, masyarakta sangat mengenal mitologi Putri Mandalika. Tentang seorang putri yang menjelma menjadi cacing. Itu sebenarnya sastra berisi pengajaran tentang iklim. Itu sampai sekarang masih terjaga di memori masyarakat," kata Ari.
Ari berharap, dengan upaya itu, akan muncul kesadaran kolektif dan kewaspadaan masyarakat akan bencana. "Sejalan dengan itu, mereka bisa mencari cara atau inisiatif-inisiatif untuk menyikapi potensi bencana yang ada," kata Ari.
Kearifan lokal
Strategi mitigasi bencana dengan mengangkat konten atau kearifan lokal memang mulai didorong berbagai pihak terkait di NTB. Sebelumnya, Yayasan Sheep Indonesia juga mengajak masyarakat penyintas gempa untuk membuat buku tentang obat-obat tradisional.
Menurut Staf Bidang Pengorganisasian dan Advokasi Yayasan Sheep Indonesia Husaini, pembuatan buku itu untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang bahan-bahan lokal yang bisa mereka manfaatkan untuk obat tradisional. "Harapannya, ketika terjadi bencana, mereka bisa membuat obat sendiri dan tidak harus menunggu dulu bantuan obat-obatan dari Mataram dan sebagainya," kata Husaini.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB juga membuat buku "Khotbah Jumat : Kebencanaan dalam Islam". Buku itu merupakan upaya mitigasi kebencanaan non-struktural melalui pendekatan agama.
"Khutbah dipilih karena sasarannya lebih banyak, hingga masyarakat tingkat bawah. Apalagi masyarakat kita di NTB masih sangat mendengar apa yang disampaikan oleh para ulama melalui mimbar-mimbar khutbah Jumat," kata Kepala Pelaksana BPBD NTB Ahsanul Khalik.
Menurut Ahsanul, dengan adanya buku khutbah itu, akan semakin mencerahkan dan mendewasakan masyarakat NTB bahwa bencana, baik itu gempa bumi, tanah longsor, kekeringan, banjir, dan lainnya bukan azab. Sejalan dengan itu, mereka dapat hidup berharmoni dengan sesama manusia, alamat, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Terkait pembuatan lagu Sasak, Ahsanul menilai hal itu sebagai sebuah langkah yang bagus. Menurut dia, mitigasi bencana bisa menggunakan berbagai pendekatan.
"Pendekatan agama penting, budaya penting, begitu juga seni. Bahkan dalam konteks seni, bisa cepat dihapal oleh anak-anak sehingga mereka tetap ingat. Tetapi kemudian, saya berharap upaya itu tidak hanya karena kita dalam momen gempa, tetapi berkesinambungan" kata Ahsanul.