Pemerintah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah fokus melakukan sejumlah upaya penanganan permanen untuk mengatasi dampak kekeringan yang terjadi setiap kemarau. Salah satunya melalui optimalisasi sumber-sumber air bawah tanah dengan pompanisasi agar bisa dinaikkan dan dimanfaatkan sebagai sumber air bersih.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS – Pemerintah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah fokus melakukan sejumlah upaya penanganan permanen untuk mengatasi dampak kekeringan yang terjadi setiap kemarau. Salah satunya melalui optimalisasi sumber-sumber air bawah tanah dengan pompanisasi agar bisa dinaikkan dan dimanfaatkan sebagai sumber air bersih.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri Bambang Haryanto di Solo, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019), mengatakan, saat ini sebanyak 36 desa di Wonogiri mengalami kekeringan akibat musim kemarau. Penanganan permanen tersebut diharapkan mengurangi jumlah wilayah terdampak kekeringan.
"Wilayah yang mengalami kekeringan merupakan daerah karst. Di bawahnya terdapat potensi sungai bawah tanah yang bisa dimanfaatkan airnya," ujarnya.
Selain upaya pengangkatan air bawah tanah, juga tengah dilakukan rekonstruksi dan rehabilitasi tiga embung di kecamatan Giritontro, Paranggupito, dan Pracimantoro. Pemkab juga memperluas jaringan perpipaan PDAM ke desa-desa yang belum terjangkau sumber air bersih.
“Tahun ini Pemkab Wonogiri telah menganggarkan Rp 20 miliar untuk optimalisasi dan perluasan jaringan perpipaan,” ujarnya.
Menurut Bambang, upaya lain pengentasan kekeringan secara permanen, yaitu memanfaatkan air waduk Pidekso di Kecamatan Giriwoyo yang kini sedang dibangun pemerintah pusat, sebagai sumber air baku. Pemanfaatan waduk Pidekso diharapkan mengurangi jumlah desa yang rutin dilanda kekeringan. “Kami akan optimalkan air waduk Pidekso agar bisa mengurangi wilayah bencana. Namun ini belum dilakukan, baru perencanaan,” katanya.
Tahun ini Pemkab Wonogiri telah menganggarkan Rp 20 miliar untuk optimalisasi dan perluasan jaringan perpipaan.
Menurut Bambang, sebanyak 36 desa yang dilanda kekeringan tersebut berada di delapan kecamatan yaitu Pracimantoro, Giritontro, Paranggupito, Nguntoronadi, Giriwoyo, Selogiri, Eromoko, Manyaran. Di wilayah tersebut, jumlah warga terdampak kekeringan tercatat 41.055 jiwa,
“Dari upaya intervensi pemerintah sebenarnya baru saja bisa mengentaskan tiga desa tetapi justru pada 2019 ini muncul desa baru yang mengalami kekeringan. Ada delapan desa baru mengalami kekeringan, tahun sebelumnya tidak,” ujarnya.
Menurut Bambang, delapan desa baru yang tahun ini mengalami kekeringan itu dipengaruhi kondisi kemarau 2019 yang relatif berat. Selain itu, diduga akibat perubahan fungsi hutan.
Purwanto, peneliti utama Balai Penelitian Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Solo, mengatakan, pemerintah kabupaten di daerah-daerah yang sering terpapar kekeringan akibat kemarau harus memiliki rencana mitigasi jangka panjang, menengah, dan tahunan. Strategi pemanenan air hujan bisa diterapkan untuk mitigasi bencana kekeringan.
“Mitigasi bencana kekeringan sudah dilakukan tetapi lebih bersifat tanggap darurat atau responsif, semisal drop air,” katanya.
Strategi pemanenan air hujan dimungkinkan diterapkan di wilayah yang kerap terpapar kekeringan, tetapi sebenarnya memiliki tingkat curah hujan tinggi hingga 2.000 milimeter per tahun.
Menurut Purwanto, strategi pemanenan air hujan dimungkinkan diterapkan di wilayah yang kerap terpapar kekeringan, tetapi sebenarnya memiliki tingkat curah hujan tinggi hingga 2.000 milimeter per tahun. Pemanenan air hujan dapat dilakukan dengan membuat bak-bak penampungan untuk menampung air hujan. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan membuat sumur resapan di dekat sumur warga.
Pembuatan sumur resapan menggunakan 3-5 bus beton dengan ukuran diameter masing-masing bus beton 85 cm dan tinggi 1 meter, mampu menambah cadangan air sumur sebesar 15 persen. Sumur resapan itu bisa memperpanjang masa pakai sumur hingga 29 hari.