ebih dari 700 penari dari berbagai kalangan, Minggu (1/9/2019) menarikan secara kolosal Tari Ketuk Tilu di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. Pertunjukan massal ini bertujuan untuk mengingatkan kembali persatuan bangsa melalui budaya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Lebih dari 700 penari dari berbagai kalangan, Minggu (1/9/2019) menarikan secara kolosal Tari Ketuk Tilu di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. Pertunjukan massal ini bertujuan untuk mengingatkan kembali persatuan bangsa melalui budaya.
Para penari berasal dari berbagai daerah, di antaranya Bandung, Tasikmalaya, Garut, Ngamprah, dan Indramayu. Anak-anak hingga orang dewasa mengenakan pakaian kebaya adat Sunda menarikan Tari Ketuk Tilu yang diyakini sebagai cikal bakal Tari Jaipong. Para penari berasal dari berbagai profesi seperti siswa, guru, hingga profesional.
Menurut Irene Arini Bastaman, koreografer dan pelatih Tari Ketuk Tilu, persiapan untuk pertunjukan tersebut memakan waktu sekitar satu bulan. Tarian ini dibagi menjadi tiga fase, di mana masing-masing bagian berisi gerakan seperti pencak silat dan tarian gemulai.
Tarian massal yang berlangsung selama kurang lebih tiga menit ini menyemarakkan Minggu pagi di Gedung Sate. Beraneka ragam warna pakaian kebaya dan selendang setiap penari berpadu mengikuti irama musik tradisional khas Sunda. Sesekali penari bersorak pada satu-dua gerakan silat untuk menambahkan unsur ketegasan gerakan.
Persiapan untuk pertunjukan tersebut memakan waktu sekitar satu bulan.
Irene menjelaskan, tarian ini merupakan tari pergaulan yang berfungsi mempererat tali silaturahmi antarpemuda. Selain melestarikan budaya leluhur, tarian ini juga menjadi doa bagi Indonesia yang agar terus menjalin kesatuan dan kebersamaan serta tidak terpecah belah.
“Ketuk Tilu ini tarian buhun (zaman leluhur), yang sudah hampir hilang. Karena itu, saya ingin memperkenalkannya dalam bentuk tarian massal ini. Bahkan, tarian ini juga menginspirasi Tari Jaipong yang terkenal. Makanya, jangan sampai dilupakan,” tuturnya.
Irene bangga, dalam waktu satu bulan terakhir, lebih dari 700 orang terkumpul dan bergabung dalam tarian kolosal ini. Dia berterima kasih kepada Komunitas Rumpun Indonesia dan Komunitas Indonesia.id yang telah mengumpulkan peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan berantai yang berawal dari Tari Cokek dari Betawi secara massal, Minggu (18/8).
Salah satu pendiri Rumpun Indonesia Marintan Sirait yang juga penggagas kegiatan tersebut menuturkan, tari kolosal Ketuk Tilu diharapkan bisa menggalang kembali rasa cinta budaya, menghargai keberagaman, dan terus mengawal toleransi untuk Indonesia. Gerakan budaya bisa menjadi pemersatu dalam perbedaan di Nusantara. Seni tari dipilih sebagai strategi sehingga menciptakan toleransi dalam kebergaman.
Jam’ah Halid (40), konsultan pendidikan, yang juga menjadi salah satu penari mengaku hanya berlatih kurang lebih dua minggu sebelum kegiatan. Meski cuma berlatih beberapa kali, dia bisa menghapal gerakan dan mengikuti irama sesuai arahan.
Gerakan budaya bisa menjadi pemersatu dalam perbedaan di Nusantara. Seni tari dipilih sebagai strategi sehingga menciptakan toleransi dalam kebergaman.
Menurut Jam’ah, tarian bisa mempersatukan semua orang dalam keseragaman gerakan. Dia berharap, kegiatan ini bisa menjadi simbol keinginan warga untuk kembali bersatu dan tidak terpecah belah.
“Meskipun berasal dari Kalimantan, saya senang menari Ketuk Tilu. Dengan tarian seperti ini, saya bisa merasakan bagaimana indahnya kebudayaan Sunda. Semoga saja, Indonesia kembali damai jika pesan persatuan ini bisa tersampaikan,” ujarnya.