150 Fasilitator Pascabencana di Nusa Tenggara Barat Diberhentikan
Sekitar 150 fasilitator proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah penyintas gempa Nusa Tenggara Barat diberhentikan. Alasannya, kinerja para fasilitator tidak sesuai harapan, bahkan justru menghambat percepatan pemulihan hunian tetap bagi penyintas gempa.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Sekitar 150 fasilitator proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah penyintas gempa Nusa Tenggara Barat diberhentikan. Alasannya, kinerja para fasilitator tidak sesuai harapan, bahkan justru menghambat percepatan pemulihan hunian tetap bagi penyintas gempa.
Fasilitator memiliki peran vital mendampingi penyintas pascagempa. Mereka bertugas membantu penyintas, mulai dari proses administrasi hingga persyaratan pembangunan rumah.
"150 fasilitator diberhentikan karena kinerjanya tidak baik. Mereka juga bermasalah, seperti meminta sesuatu kepada aplikator, pengusaha penyedia material bangunan, atau mempersulit kelompok masyarakat (dalam pencairan dana stimulan gempa). Mereka juga tidak melaksanakan tugas dengan baik di tempat penugasan," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB Ahsanul Khalik di Mataram, Senin (2/9/2019).
Menurut Ahsanul, alasan pemberhentian juga menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan untuk proses pendampingan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi rumah penyintas gempa. "Untuk penggantian fasilitator yang diberhentikan, dilakukan berdasarkan kesepakatan tim pengendali kegiatan dengan BPBD di kabupaten/kota," kata Ahsanul.
Selain pemberhentian, menurut Ahsanul, fasilitator tersebut juga akan diperiksa oleh pihak-pihak terkait. "Proses hukum pasti akan ada sendiri. Entah itu nanti oleh kepolisian atau kejaksaan," kata Ahsanul.
Pemberhentian itu, kata Ahsanul, tidak sampai menghentikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang berjalan. Menurut dia, pemulihan pascabencana masih dibantu 1.244 fasilitator sipil.
Ke depan, kinerja semua fasilitator akan tetap dievaluasi. Hal itu untuk menghindari munculnya fasilitator-fasilitator yang bermasalah lagi. "Evaluasi rutin terus berjalan. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk media, diharapkan memberi informasi jika ada fasilitator yang tidak layak," kata Ahsanul.
Bermasalah
Husaini, staf Bidang Pengorganisasian dan Advokasi Yayasan Sheep Indonesia, yayasan pengelola program rehabilitasi dan rekonstruksi di Lombok Utara, mengatakan, persoalan fasilitator memang tidak hanya kinerja. Sejak awal rekrutmen, sebagian fasilitator sudah bermasalah.
"Kami melihat kehadiran sebagian fasilitator di lapangan tidak efektif membantu percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi hunian," kata Husaini.
Kami melihat kehadiran sebagian fasilitator di lapangan tidak efektif membantu percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi hunian
Husaini menambahkan, berdasarkan kesaksian masyarakat yang mereka dampingi, banyak kasus terkait fasilitator. "Pertama, fasilitator tidak mau bekerja secara maksimal hingga tidak mau memonitoring proses rehabilitasi dan rekonstruksi hunian. Kedua, ada yang bermain mata dengan aplikator sehingga menjadi persoalan di kemudian hari," kata Husaini.
Dampak fatal. Tidak maksimalnya kinerja para fasilitator dirasakan para penyintas gempa. Monitoring yang tidak berjalan, bahkan membuat penyintas gempa harus membongkar rumah yang telah dibangun.
Kepala Dusun Salut Timur, Desa Salut, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Jumadil mengatakan, karena ketidakpahaman, masyarakat seringkali menerima program yang datang. "Kami pernah bongkar bangunan yang sudah jadi. Hal itu karena bangunan yang ditawarkan aplikator dari pemerintah daerah sehingga kami menganggapnya sesuai spesifikasi. Ternyata, fasilitator tidak bilang bangunan itu tidak sesuai spesifikasi dan tidak mau tandatangan," kata Jumadil.
Oleh karena itu, menurut Husaini, ke depan pemerintah perlu menyiapkan sistem monitoring dan evaluasi, termasuk bagi fasilitator. "Selama ini, para fasilitator bekerja tanpa monitoring yang ketat. Mereka bertugas memonitor pekerjaan aplikator dan kelompok masyarakat, tetapi mereka sendiri tidak ada yang mengawasi," kata Husaini.
Direktur Walhi NTB Murdani menambahkan, di tengah kebutuhan akan hunian, jangan sampai ada permainan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Oleh karena itu, menurut Murdani, pengawasan harus diperketat.
"Proses dari hulu ke hilir harus tetap dikawal. Tidak hanya fasilitator, tetapi aplikator hingga kelompok masyarakat juga banyak masalahnya," kata Murdani.