Kearifan Semua Pihak Kunci Penyelesaian Gejolak di Papua
Kearifan semua pihak sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan gejolak di tanah Papua. Selain pendekatan sosial-ekonomi, pendekatan psikoantropologi juga diperlukan para pihak terkait.
Oleh
YOLA SASTRA
·2 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kearifan semua pihak sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan gejolak di tanah Papua. Selain pendekatan sosial-ekonomi, pendekatan psikoantropologi juga diperlukan para pihak terkait.
”Pemerintah harus memahami betul rakyatnya (masyarakat Papua). Dipahami betul asal-usul mereka bagaimana, kulturnya bagaimana, tingkat pendidikannya bagaimana. Itu harus dipelajari semua. Itu yang kurang selama ini,” ujar mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Selasa (3/9/2019), di Padang, Sumatera Barat.
Di sana, Syafii menghadiri peresmian rumah susun dan ruang kelas baru Pondok Pesantren Modern Terpadu Prof Dr Hamka II Padang. Gedung-gedung baru itu diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
”Tingkatkan kearifan, baik dari Papua maupun Jakarta. Sebab, Papua ini masuk ke Indonesia bukan pada 1945, tidak bersama-sama dengan Aceh (dan daerah lainnya). Jadi (bergabung) belakangan, itu harus dipahami,” kata Syafii.
Oleh sebab itu, kata Syafii, penyelesaian konflik Papua harus menggunakan pendekatan khusus. Selain pendekatan sosial-ekonomi, pendekatan psikoantropologi juga diperlukan. Hal itulah, kata dia, yang kurang diperhatikan selama ini.
Terkait dugaan pihak asing menunggangi gejolak di Papua, Syafii mengatakan, itu hal yang biasa terjadi. Jika negara Indonesia kuat dari dalam, upaya pihak asing menunggangi gejolak itu tidak akan berhasil. Syafii memandang, sejauh ini Indonesia belum lumpuh akibat kepentingan pihak asing.
”(Terkait referendum), ya mereka (sebagian warga Papua) mau begitu. Tapi nanti tergantung bagaimana perundingan antara Jakarta dan Papua. Harus saling menerima dan meningkatkan kearifan nasional serta kearifan lokal,” ujar Syafii.
Beda karakteristik
Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam silaturahmi dengan aparat pemerintahan dan masyarakat Sumbar di Padang, Senin (2/9/2019) malam, mengatakan, setiap daerah di Indonesia punya karakteristik masyarakat dan wilayah yang berbeda. Oleh sebab itu, penanganan kasus di Aceh dan Papua, yang sama-sama mendapat keistimewaan dengan status otonomi khusus semestinya juga berbeda.
Wapres mengatakan, kondisi di Aceh sangat aman sejak tercapainya kesepakatan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka dan ditetapkannya status otonomi khusus sekitar 15 tahun lalu. Sebaliknya, Papua yang juga mendapatkan status sama terus bergejolak hingga sekarang.
”Ini menandakan bahwa suatu daerah mempunyai karakter dan juga cara penanganan yang berbeda-beda,” kata Wapres.
Ini menandakan bahwa suatu daerah mempunyai karakter dan juga cara penanganan yang berbeda-beda.
Wapres menjelaskan, daerah lain merasa puas dengan pembangunan infrastruktur dan sebagainya oleh pemerintah pusat. Namun, Papua punya karakteristik berbeda. Pembangunan di Papua belum memberikan hasil yang diharapkan untuk memberikan pemerataan, harmonisasi, dan kesejahteraan yang baik untuk masyarakat meski nilainya besar.
Menurut Wapres, ada berbagai kemungkinan yang menyebabkan hal itu terjadi. Kemungkinan itu di antaranya cara pemerintah yang tidak memuaskan masyarakat, pendidikan yang belum merata, dan spirit yang tidak memberikan pendapatan yang baik kepada masyarakat sehingga menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan.