Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri masih mendalami peran tiga terduga tindak pidana terorisme yang ditangkap di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/9/2019).
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara Republik Indonesia masih mendalami peran tiga terduga tindak pidana terorisme yang ditangkap di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu, 4 September. Keluarga keberatan dengan penangkapan yang dinilai tak prosedural.
”Tiga orang ditangkap. Peran mereka masih didalami. Pemeriksaan masih intensif,” kata Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal (Pol) Wahyu Lukman Hariyanto di Palu, Kamis (5/9/2019).
Lukman menyebutkan, ketiga terduga tersebut bukan bagian dari daftar pencarian orang (DPO) tindak pidana terorisme di Kabupaten Poso dan Parigi Moutong. Namun, ia tak menjelaskan, apakah mereka anggota baru dalam jaringan yang dikenal sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT) itu atau bukan. ”Kasih waktu kami untuk mendalami peran mereka,” katanya.
Ketiga terduga itu ditangkap di tempat berbeda di Palu, Rabu dini hari. Ketiganya saat ini menjalani pemeriksaan di Markas Polda Sulteng.
Lukman menyebutkan, polisi menyita sejumlah barang bukti dari para terduga itu, antara lain satu pucuk senjata, badik, parang, dan dokumen. Dokumen tersebut diduga terkait dengan keterlibatan ketiganya dalam tindak pidana terorisme.
Tidak sesuai prosedur
Pendamping hukum para terduga, Akbar, menyatakan, penangkapan tak dilakukan sesuai prosedur. ”Tidak ada surat, baik surat penangkapan maupun surat identitas aparat yang bertugas menangkap. Keluarga juga tidak ditanyakan perihal apa yang terjadi,” ujarnya saat menggelar konferensi pers pada Rabu.
Ia memastikan barang bukti yang disita tak ada kaitannya dengan tindak pidana yang dituduhkan. Badik atau parang dan senjata angin itu merupakan barang-barang yang wajar dimiliki seseorang di rumah.
Risna (30), istri salah satu terduga, menyebutkan, selama ini tak ada yang aneh dengan suaminya. Suaminya bekerja sebagai buruh bangunan. ”Tidak ada yang aneh. Dia pergi kerja pagi hari, pulang sore,” katanya.
Tidak ada surat, baik surat penangkapan maupun surat identitas aparat yang bertugas menangkap. Keluarga juga tidak ditanyakan perihal apa yang terjadi.
Keluarga telah melaporkan cara penangkapan yang dinilai tidak prosedural itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Nasional Perwakilan Sulteng.
Dosen dan pengamat terorisme Institut Agama Islam Negeri Palu, Lukman Thahir, menuturkan, kepolisian diharapkan tetap memberikan akses kepada keluarga untuk mendapatkan informasi terkait perkembangan kasus. Hal itu agar keluarga tidak bingung dengan proses hukum yang ada.
Meskipun peranan ketiga terduga itu belum bisa diketahui dengan jelas, ujar Lukman, keberadaan ketiganya mengindikasikan jaringan MIT masih cukup aktif. Semua pemangku kepentingan diharapkan bergandengan tangan agar perekrutan anggota baru bisa dicegah lewat penyampaian pesan-pesan damai.
Polda Sulteng saat ini menggelar Operasi Tinombala di Kabupaten Poso dan Parigi Moutong untuk mengejar 9 orang yang masuk DPO. Operasi itu berlangsung sejak 2016. Anggota MIT awalnya berjumlah hingga 40 orang. Karena operasi tersebut, banyak yang tewas dalam baku tembak dengan aparat. Selain itu, ada juga yang ditangkap dan menyerahkan diri.