Emansipasi Warga Lokal untuk Arah Pembangunan Papua
Emansipasi warga lokal menjadi hal penting sebagai arah pembangunan Papua. Keterlibatan masyarakat lokal akan meningkatkan efektivitas dan keberpihakan pembangunan sekaligus mereduksi kesenjangan sosial maupun ekonomi.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Emansipasi warga lokal menjadi hal penting sebagai arah pembangunan Papua. Keterlibatan masyarakat lokal akan meningkatkan efektivitas dan keberpihakan pembangunan sekaligus mereduksi kesenjangan sosial maupun ekonomi.
Hal itu menjadi salah satu pembahasan dalam diskusi publik bertajuk “Papua dan Kebangsaan” yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (6/9/2019).
Guru Besar Hubungan Internasional UGM Mohtar Mas’oed, mengungkapkan, kesenjangan sosial dan ekonomi kerap kali mendasari terjadinya sebuah konflik. Konflik yang berujung pada kekerasan itu menjadi reaksi masyarakat atas kesenjangan itu. Terdapat kelompok masyarakat yang tersisih sehingga melakukan aksi yang reaksioner.
Kesenjangan sosial dan ekonomi kerap kali mendasari terjadinya sebuah konflik.
Model itu diduga berlaku pada konflik yang tengah berlangsung di Papua. menurut Mohtar, dugaannya itu berdasar pada indeks pembangunan manusia di daerah tersebut yang masih relatif rendah.
“Ada kesan kecemasan. Orang merasa kehilangan kendali atas nasibnya. Itu sangat jelas ada kecemasan dan sifatnya massal. Seolah mereka juga tidak bisa ikut serta dalam pembuatan kebijakan publik yang mempengaruhi masa depannya,” kata Mohtar.
Mohtar menambahkan, langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah melakukan desentralisasi yang benar-benar melibatkan penduduk asli. Keterlibatan penduduk itu menjadi faktor krusial. Hal itu memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang benar-benar dibutuhkan dan tepat sasaran.
Dengan langkah itu, lanjut Mohtar, yang didorong adalah terjadinya emansipasi Papua. Keberdayaan penduduk menjadi arah utama langkah tersebut. Itu semua dilakukan dalam bingkai kesatuan nasional dengan menerapkan sikap saling menghargai di tengah keberagaman.
Sekretaris Gugus Tugas Papua UGM Gabriel Lele menyampaikan, emansipasi itu bisa dimulai dengan memberi ruang bagi tokoh lokal untuk bicara terkait permasalahan yang dihadapi. Kondisi itu membuat warga Papua tidak merasa terpinggirkan. Ini berhubungan dengan persoalan daerah yang cukup kompleks.
“Memang emansipasi yang paling penting. Bagaimana memberikan ruang bagi masyarakat Papua secara keseluruhan. Mereka harus benar-benar menjadi aktor pembangunan,” kata Gabriel.
Gabriel menambahkan, persoalan di tataran daerah perlu diselesaikan menggunakan kaca mata penduduk asli. Kondisi itu memungkinkan ditemukannya solusi nyata permasalahan.
Sementara itu, Ari Sujito, pakar sosiolog konflik UGM, mengungkapkan, membahas masalah konflik di Papua, tidak bisa terus menerus dari pendekatan keamanan yang terkesan represif. Kini waktunya mencari jalan keluar dari persoalan keadilan sosial dan kesejahteraan yang diduga turut melatari konflik.
Dia menambahkan, persoalan keadilan sosial yang belum terwujud itu perlu menjadi bahan refleksi. Demokrasi harus menjadi pintu pemecahan masalah. Solusi permasalahan harus mengedepankan sisi kemanusiaan.