Keragaman budaya dan cerita lokal di berbagai daerah merupakan potensi besar untuk mengembangkan komik dan animasi dalam negeri. Untuk itu, diperlukan alih wahana sebagai adaptasi perkembangan tren.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Keragaman budaya dan cerita lokal di berbagai daerah merupakan potensi besar untuk mengembangkan komik dan animasi dalam negeri. Untuk itu, diperlukan alih wahana sebagai adaptasi perkembangan tren agar dapat menarik minat khalayak secara luas.
Budaya dan cerita lokal yang telah diwariskan turun temurun selayaknya diolah jadi komik dan animasi. Potensi itu, menurut Supervisory Board Asosiasi Industri Animasi Indonesia Chandra Endroputro, perlu optimal dikelola menjadi produk yang menarik.
”Sekarang zamannya sudah berubah. Pegiat animasi ditantang menghasilkan film atau komik yang relevan dengan kekinian sehingga akan lebih mudah diterima masyarakat,” katanya, di Tempoa Art Gallery, Jambi, Sabtu (7/9/2019).
Baru segelintir saja dari budaya lokal yang bertransformasi menjadi animasi yang menarik bagi generasi sekarang. Selebihnya masih terpaku pada struktur cerita dan visualisasi lawas.
Festival Komik dan Animasi Nasional (FKAN) ke-10 yang diselenggarakan di Kota Jambi, 4-8 September 2019, menjadi momentum untuk menghidupkan cerita-cerita lokal ke dalam komik dan animasi. Menurut Chandra, kuncinya ada pada alih wahana.
Namun, Sangkuriang bisa jadi menarik jika dikemas berbeda, menggunakan idiom dan semiotika visual yang akrab dengan kekinian.
Ia mencontohkan, kisah Sangkuriang dari Jawa Barat bisa jadi takkan menarik lagi bagi anak-anak masa kini dengan cerita aslinya. Namun, Sangkuriang bisa jadi menarik jika dikemas berbeda, menggunakan idiom dan semiotika visual yang akrab dengan kekinian. Alurnya bisa jadi lain, tetapi yang terpenting ada pesan positif dari setiap cerita.
Panitia acara, Ehwan Kurniawan, menambahkan, ada banyak tokoh dan kisah lokal yang bisa diangkat dalam komik dan animasi. Di Jambi, contohnya, ada kisah Angso Duo, Keris Siginjai, atau kisah Candi Muaro Jambi.
Tantangannya adalah bagaimana mengemas cerita tradisional itu sehingga dapat dinikmati secara lebih luas. Tidak hanya bagi masyarakat setempat, tetapi menjangkau cakupan yang lebih universal. Untuk itu, perlu visualisasi yang relevan dengan kekinian. ”Bisa dikemas jadi cerita, bahkan menjadi maskot daerah,” katanya.
Akademisi Institut Kesenian Jakarta, Iwan Gunawan, menyebutkan, festival komik dan animasi bertujuan mengembangkan media komik dan animasi dengan mengangkat potensi lokal. Hal itu termasuk perubahan kultur di masing-masing daerah.
Pengemasannya membutuhkan penyesuaian-penyesuaian yang mengikuti pola konsumsi. Durasi animasi, misalnya, tidak perlu lagi panjang. Begitu pula komik, menjadi cenderung lebih singkat.
FKAN ke-10 merupakan kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Asosiasi Industri Animasi Indonesia (Ainaki), Asosiasi Komik Indonesia, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Tempoa Art Gallery, Taman Budaya Jambi (TBJ), dan Senimedia. Provinsi Jambi terpilih sebagai tuan rumah karena kekayaan alam, budaya, sejarah, dan tinggalan purbakala, yakni kawasan percandian Muaro Jambi sebagai salah satu situs sejarah terbesar di Asia Tenggara.
Berbagai kegiatan dilangsungkan dengan mengangkat tema besar ”Alih Wahana Cerita dan Karakter Berbasis Potensi Lokal”. Selain pameran komik dan animasi, diselenggarakan pula seminar, bengkel komik dan animasi, lomba menggambar dan mewarnai, temu komunitas, dan nonton bareng.
Pegiat komik asal Palembang, Hady Sumarno, mengatakan, alih wahana menjadi tuntutan di masa kini. Ia menceritakan, melalui proses sejak 2015, telah berhasil menjadikan Jembatan Ampera, Sungai Musi, dan pempek yang merupakan landmark serta kuliner Kota Palembang sebagai ikon komik hingga produk souvenir daerah itu.
Ia mengakui, upaya penetrasi ikon tidaklah mudah sehingga dibutuhkan dukungan pemerintah daerah.