Sejumlah aktivis lingkungan memprotes proyek reklamasi hutan bakau seluas lima hektar di Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, Batam, Kepulauan Riau. Sebagian bukit di sana kini juga botak karena tanahnya dikeruk
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Sejumlah aktivis lingkungan memprotes proyek reklamasi hutan bakau seluas lima hektar di Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, Batam, Kepulauan Riau. Sebagian bukit di sana kini juga botak karena tanahnya dikeruk untuk mereklamasi lahan yang akan dijadikan tambak udang itu.
Dari jalan utama, proyek reklamasi itu tertutup bukit. Jalan tanah yang menjadi akses satu-satunya ke sana hanya bisa ditempuh menggunakan roda dua atau mobil dobel gardan. Sebuah buldoser dan satu ekskavator lalu-lalang memapras bukit dan meratakan timbunan tanah di lokasi proyek.
Aktivis Akar Bhumi Indonesia Hendrik Hermawan di Batam, Selasa (10/9/2019), mengatakan, penggundulan hutan bakau di Kelurahan Tanjung Piayu tidak terpantau karena lokasinya jauh dari pemukiman warga. Proyek reklamasi itu diperkirakan sudah berlangsung lebih kurang selama dua bulan.
“Sebulan lalu, Ibu Iriana datang dan menanam bakau di Tanjung Piayu. Namun, ironisnya ternyata perusakan bakau masih juga terjadi di sini,” kata Hendrik.
Achiang, pengawas proyek, tidak bersedia menyebutkan nama perusahaan yang bertanggung jawab atas reklamasi di lokasi itu. Ia mengaku sebatas menerima perintah untuk mengerjakan lahan sesuai rancangan yang diberikan. Menurut dia, atasannya saat ini tidak bisa ditemui karena sedang berada di luar negeri.
“Tidak ada nama perusahaan, proyek ini hanya borongan kecil saja,” ujarnya.
Sehari sebelumnya, petugas dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Unit II Batam meninjau lokasi itu dan meminta aktivitas reklamasi dihentikan sampai yang bersangkutan bisa memberikan penjelasan. Namun, imbauan itu tidak digubris. Sejumlah pekerja tetap nekat melanjutkan proyek tersebut.
Menurut Achiang, yang saat ini dilakukan para pekerja hanya sebatas meratakan timbunan tanah. Ia menjamin, luasan reklamasi di lokasi itu tidak akan bertambah sebelum atasannya pulang dari luar negeri dan memberi penjelasan terkait perizinan proyek itu kepada pihak berwenang.
“Setahu saya ini mau dijadikan tambak udang. Saya cuma disuruh mengawasi aja, izinnya bukan saya yang mengurus,” katanya.
Kepala Bidang Perlindungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam Amjaya, saat turun meninjau lokasi, meminta semua pekerjaan distop sementara. Sejumlah alat berat yang sedang beroperasi diperintahkan untuk diparkir. Pemilik proyek diberi waktu dua hari untuk segera memberi penjelasan.
Seluruh aktivitas proyek harus dihentikan karena mereka tidak bisa menunjukkan bukti legalitas apa pun. Sebelum ada kejelasan, tidak boleh ada aktivitas di sini
“Seluruh aktivitas proyek harus dihentikan karena mereka tidak bisa menunjukkan bukti legalitas apa pun. Sebelum ada kejelasan, tidak boleh ada aktivitas di sini,” ujar Amjaya.
Ia memperkirakan luas proyek reklamasi itu sekitar 10 hektar, setengah di antaranya merupakan hutan bakau yang kini sudah ditimbun tanah. Dalam waktu dekat, DLH akan memastikan peruntukan lahan di lokasi tersebut. Dugaan sementara, lahan itu masih termasuk kawasan hutan lindung bakau di Tanjung Piayu.
Aktivis lingkungan lain, Riyadi dari lembaga swadaya masyarakat Bakau Merah, meminta, pemerintah tegas menangani kasus alih fungsi hutan bakau. Pengusaha nakal harus diberi sanksi menanami kembali dan merawat bakau hingga lahan yang telah digunduli kembali lagi seperti semula.
“Laju kerusakan hutan bakau sangat cepat di Batam. Untuk itu dalam waktu dekat kami akan membuat pusat pengaduan bagi masyarakat untuk melaporkan alih fungsi hutan bakau,” katanya.