Penambangan Pasir Selat Sunda Dikhawatirkan Rusak Ekosistem
Warga Desa Tejang, Pulau Sebesi, Lampung Selatan, menolak rencana penambangan pasir di Selat Sunda, tepatnya di sekitar perairan Gunung Anak Krakatau. Mereka khawatir penambangan akan merusak ekosistem kawasan itu.
Oleh
VINA OKTAVIA
·2 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Warga Desa Tejang, Pulau Sebesi, Lampung Selatan, menolak rencana penambangan pasir di Selat Sunda, tepatnya di sekitar perairan Gunung Anak Krakatau. Mereka mendesak pemerintah membatalkan izin penambangan itu karena dikhawatirkan merusak ekosistem.
Keinginan itu disampaikan sejumlah warga saat mendatangi kantor DPRD Provinsi Lampung, Selasa (10/9/2019), di Bandar Lampung. “Kami menyatakan menolak rencana penambangan pasir laut di sekitar Pulau Sebesi dan Krakatau,” ujar Taufik, juru bicara warga.
Menurut Taufik, warga resah karena melihat adanya kapal tongkang di dekat perairan Pulau Sebesi sekitar dua minggu lalu. Kapal milik sebuah perusahaan itu diduga hendak menambang pasir laut.
Saat itu, sejumlah warga Pulau Sebesi berinisiatif mendekati dan memantau aktivitas kapal. Kapal memang tidak langsung melakukan aktivitas penyedotan pasir laut. Namun, warga resah karena mendapat informasi akan ada penambangan pasir laut di area seluas 1.000 hektar dekat Pulau Sebesi.
Warga resah karena mendapat informasi akan ada penambangan pasir laut di area seluas 1.000 hektar dekat Pulau Sebesi.
Untuk itu, warga meminta pemerintah mengkaji ulang dan mencabut izin penambangan pasir oleh perusahaan. Pasalnya, penambangan pasir laut dapat mengancam mata pencaharian warga sebagai nelayan. Selain itu, warga juga khawatir penambangan akan merusak ekosistem laut dan memicu bencana alam.
Selain itu, warga juga meminta agar pemerintah melakukan pengawasan langsung terhadap rencana aktivitas penambangan pasir di sekitar Gunung Anak Krakatau. Pasalnya, selama ini, pengawasan dilakukan atas inisitif warga dan dengan perlengkapan yang minim.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung Irfan Tri Musri mengungkapkan, berdasarkan hasil investigasi tim Walhi, izin penambangan pasir cacat administrasi. Pasalnya, izin usaha pertambangan dengan nomor 540/3710/KEP/II.07/2015 bagi perusahaan yang menambang di Sebesi diterbitkan pada masa transisi jelang ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038.
Dalam perda tersebut, tidak ada alokasi ruang untuk pertambangan di Provinsi Lampung selain gas dan minyak bumi. Artinya, pertambangan pasir laut di perairan sekitar Gunung Anak Kratau bertentangan dengan aturan.
Untuk itu, Walhi Lampung mendesak agar pemerintah mengevaluasi dan mencabut izin penambangan pasir. Selain itu, pemerintah juga diminta tidak lagi menerbitkan izin yang bertentangan dengan perda tersebut.
Ketua DPRD (sementara) Provinsi Lampung Mingrum Gumay berjanji, pihaknya akan segera membentuk kelompok kerja untuk menindaklanjuti laporan dari warga Pulau Sebesi. Dengan terbitnya Perda Nomor 1 Tahun 2018, izin pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan akan gugur. Dengan adanya perda itu, izin pertambangan pasir laut semestinya tidak berlaku.