Meskipun memiliki area lahan perkebunan kelapa terluas di Indonesia, Sulawesi Utara hanya mengekspor kopra dan beberapa produk turunan kelapa lainnya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Meskipun memiliki area lahan perkebunan kelapa yang sangat luas, Sulawesi Utara hanya mengekspor kopra dan beberapa produk turunan kelapa lainnya. Potensi sabut kelapa yang juga diminati pasar internasional baru terjamah oleh dua perusahaan dengan hasil yang terbatas.
Data Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Sulawesi Utara, baru ada dua unit usaha kecil yang mengolah sabut kelapa, salah satunya CV Puri Bitung Gemilang yang dimiliki Hermanto di Bitung. Perusahaan itu memproduksi serat sabut kelapa (cocofiber) yang digunakan untuk membuat jok mobil, matras, hingga jaring.
“Kalau cuaca panas, kami bisa bikin cocofiber 100 ton per bulan dari sabut yang dikeringkan. Kalau hujan, mungkin hanya 40-50 ton. Kami mengandalkan cuaca saja, tidak menggunakan oven sebagai mesin pengering karena serabut rawan terbakar,” kata Hermanto, Rabu (11/9/2019).
Bahan baku diambil dari sekitar 20 petani di Bitung dan Minahasa Utara dengan harga Rp 16.000 per kubik. Hermanto mengatakan, sabut kelapa melimpah, tetapi kerap dibuang begitu saja oleh para petani kelapa setelah panen karena tidak dibeli perusahaan maupun pedagang.
Semua produksi serat sabut kelapa bikinan CV Puri Bitung Gemilang diekspor ke China. Hermanto mengatakan, harga serat sabut kelapa saat ini sedang bagus, sekitar 300 dollar AS per ton.
Pada semester II 2018, Sulut memiliki 275.596 hektar kebun kelapa dengan luas panen 217.869 hektar. Produksi kelapa dalam bentuk kopra mencapai 302.329 ton. Menurut data Disperindag Sulut, sebanyak 4.056,28 ton kopra diekspor ke Filipina, sementara 75.195 ton bungkil kopra diekspor ke India.
Di samping itu, sebanyak 19.304,71 ton tepung kelapa diekspor ke 40 negara, sedangkan 109.271 ton minyak kelapa kasar ke tiga negara. Ekspor serat sabut kelapa tidak tercatat dalam rekapitulasi realisasi ekspor Disperindag.
Sedianya, satu perusahaan lain di Minahasa Utara juga memproduksi serat sabut kelapa. Namun, Kepala Seksi Industri Agro, Hasil Hutan, dan Promosi Industri di Disperindag Sulut Tutty Saerang mengatakan, produksi perusahaan tersebut kemungkinan tidak berlanjut.
Artinya, produksi cocofiber di Sulut diperkirakan hanya 100 ton per bulan. Di Kabupaten Banyuwangi, PT Sumber Makmur Bakti Mulya mampu menghasilkan 640 serat sabut kelapa setiap bulan (Kompas, 5 September 2019). Luas area tanam kelapa di Banyuwangi 22.491 hektar dan luas panen mencapai 22.236 hektar, sekitar 10 persen luas lahan kelapa di Sulut.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulut George Umpel mengatakan, rendahnya keragaman produk turunan kelapa yang diekspor dari Sulut menunjukkan ketergantungan industri pada kopra dan daging kelapa saja. Akibatnya, bagian kelapa lainnya seperti sabut dan airnya tidak diolah menjadi produk bernilai tambah.
“Perusahaan sudah merasa untung dengan membuat tepung kelapa maupun mengolah kopra. Makanya, sabut dan air kelapa sering kali dibuang oleh petani. Jadinya, petani tidak dapat untung terutama saat harga kopra sedang jatuh (Rp 4.500),” kata dia.
Perusahaan sudah merasa untung dengan membuat tepung kelapa maupun mengolah kopra. Makanya, sabut dan air kelapa sering kali dibuang oleh petani. Jadinya, petani tidak dapat untung terutama saat harga kopra sedang jatuh
George mengatakan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota semestinya mendorong pembentukan industri kelapa terpadu pedesaan dan memberi dukungan modal. Dengan dana Rp 350 juta, katanya, petani di desa bisa membeli alat pengolah kelapa sehingga para petani bisa menentukan sendiri produk turunan yang diinginkan, mulai dari pakan ternak hingga minyak kelapa murni.
Ekspor mahal
Kendati harga serat sabut kelapa sedang bagus, Hermanto mengeluhkan biaya pengiriman yang sangat mahal. Ia terpaksa mengirim cocofiber-nya ke Jakarta atau Surabaya terlebih dahulu karena tidak ada pelayaran langsung dari Pelabuhan Bitung ke Asia Pasifik dan China.
Ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia Efli Ramli mengatakan, melimpahnya kelapa di Sulut sebenarnya menggiurkan bagi para pengusaha. Namun, biaya ekspor dari Sulut terlalu tinggi. Semua peti kemas dari Indonesia Timur mesti dikirim ke Surabaya atau Jakarta lebih dulu sehingga biaya berganda.
“Serat dan bubuk sabut kelapa adalah komoditas ekspor. Tapi, biaya ekspor bisa sampai 1.600 dollar AS per peti kemas (ukuran 20 kaki), sedangkan dari Jawa cuma 300 dollar AS. Kalau kirim dari Bitung ke Surabaya dulu, harganya juga sama saja,” katanya.
Efli berharap, Pelabuhan Bitung yang telah ditetapkan sebagai pelabuhan hub internasional harus segera difungsikan. “Jangan statusnya saja internasional, tetapi biaya ekspornya tetap mahal. Ini yang bikin industri ekspor di Indonesia timur tidak bertahan lama,” katanya.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sulut Darwin Muksin mengatakan, Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional belum terlaksana. Perpres tersebut menetapkan Bitung sebagai pelabuhan hub internasional Indonesia timur yang menjadi pintu ekspor-impor.
“Kalau itu sudah konsisten terlaksana, produk turunan kelapa di Sulut pasti semakin beragam. Kalau biaya ekspor bisa ditekan, Bitung akan diperhitungkan untuk oleh pengusaha yang mau mengekspor ke Asia Pasifik,” kata Darwin.