Pertama dalam Tiga Tahun, Seorang Bayi di Minahasa Menderita Gizi Buruk
Seorang bayi laki-laki dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Sam Ratulangi, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, lantaran menderita gizi buruk. Kasus ini merupakan yang pertama dalam setidaknya tiga tahun terakhir.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Seorang bayi laki-laki dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Sam Ratulangi, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, lantaran menderita gizi buruk. Kasus itu merupakan yang pertama dalam setidaknya tiga tahun terakhir.
Muhammad Raafi Tampilang yang berusia 10 bulan terbaring lemah di kamar kelas III unit perawatan anak RSUD Tondano, Sabtu (14/9/2019). Kulit di lengan bergelambir, sementara tulang-tulangnya menonjol. Perutnya juga terlihat bergelambir dengan banyak kerutan.
Neneknya, Majelin Makasahe (42), mengatakan, Raafi telah dirawat tiga hari sejak Kamis (12/9/2019). Saat ini, berat badannya hanya sekitar 4,9 kilogram. Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berat bayi laki-laki 10 bulan bisa mencapai 9-11 kilogram.
”Hasil pemeriksaan dokter kemungkinan gizi buruk. Tiga hari lalu demam, badannya panas. Sekarang, Raafi masih enggak mau makan, bubur cuma dimakan sedikit sekali. Susu juga enggak mau minum,” kata Majelin, warga Desa Kombi, Kecamatan Kombi, Minahasa.
Majelin mengatakan, berat badan cucunya terus menurun sejak usia enam bulan, dari 7 kg menjadi 4,9 kg saat ini. Penyebabnya, Raafi tidak lagi mendapatkan asupan air susu ibu (ASI) dari ibundanya, Misnawati Tampilang (20), karena produksi ASI-nya berhenti.
Setelah itu, kata Majelin, Raafi tidak mau minum susu ataupun makan. Sebagai solusi, sang nenek yang merawatnya hanya memberikan air gula.
”Setelah itu, makin hari berat badannya terus berkurang, sempat sampai 4,8 kg. Dulu perutnya biasa saja, kencang. Tapi, sekarang jadi begini (bergelambir) dan kulit perutnya mengelupas,” katanya.
Hingga sekarang Raafi terus meminum air gula dari dot gelasnya. Infus di kakinya telah dicabut sejak kemarin. Tenaga kesehatan RSUD Sam Ratulangi, Tondano, meminta agar ia diberi susu meskipun sedikit demi sedikit.
Hasil pemeriksaan dokter kemungkinan gizi buruk. Tiga hari lalu demam, badannya panas. Sekarang, Raafi masih enggak mau makan, bubur cuma dimakan sedikit sekali. Susu juga enggak mau minum.
Sangat jarang
Direktur Utama RSUD Sam Ratulangi, Tondano, Mariani Suronoyo memastikan Raafi menderita gizi buruk karena beratnya hanya 4,9 kg dan lingkar lengannya kurang dari 11,5 sentimeter. Namun, kasus gizi buruk pada balita dinilainya sangat jarang terjadi di Minahasa. ”Kasusnya sangat sedikit, terakhir kami tangani satu pasien dari Kecamatan Tondano sekitar tiga tahun lalu,” katanya.
Meski demikian, Mariani belum bisa memastikan apakah Raafi hanya menderita gizi buruk atau ada penyakit lain yang menyebabkannya sakit. ”Misalnya, ada kemungkinan tubuhnya tidak bisa menyerap nutrisi dari makanan dengan baik. Itu yang belum bisa kami pastikan. Bisa jadi ada penyakit lain,” katanya.
Sekitar dua bulan sebelumnya, Raafi pernah dibawa ke RSUD Sam Ratulangi, Tondano. Dari hasil pemeriksaan dokter, Raafi memiliki sel darah putih berlebih, tetapi diperbolehkan pulang setelah dirawat seminggu. ”Tapi, dokter enggak bilang ada kelebihan sel darah putih lagi,” kata Majelin.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Puskesmas Kombi Devis Poa mengatakan, kasus gizi buruk yang menimpa Raafi merupakan satu kasus setelah beberapa tahun terakhir. ”Terakhir tahun 2003 dan 2004, hanya ada kasus balita kurang gizi di Desa Kolongan, tapi sudah diatasi. Kebanyakan pasien kurang gizi yang datang ke Pusksesmas Kombi adalah warga provinsi, tapi sudah kembali ke kampungnya,” kata Devis.
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sulut 2016, ada 24 kasus gizi buruk di 15 kabupaten dan kota, menurun dari 39 kasus setahun sebelumnya. Di Kabupaten Minahasa tidak ditemukan satu pun bayi dengan gizi buruk. Sebaliknya, delapan kasus ditemui di Bolaang Mongondow Utara, tertinggi di Sulut.
Kepala Dinas Kesehatan Minahasa Maya Rambitan mengatakan, pihaknya sedang memeriksa keadaan gizi Raafi. Beberapa bantuan telah diberikan, seperti bubur, susu, dan popok.
Kurang biaya
Selama tiga hari Raafi dirawat, biaya yang mesti ditanggung sekitar Rp 700.000. Majelin yang bekerja sebagai buruh kebun dengan upah tidak tetap Rp 75.000 per hari mengaku tak sanggup membayarnya. Apalagi, Raafi tidak terdaftar dalam Jaminan Kesehatan Nasional lantaran belum memiliki akta kelahiran. Sang ibu, Misnawati, belum menikah secara resmi dengan suaminya.
Misnawati mengatakan, dirinya telah berusaha membuatkan anaknya akta kelahiran dan mendaftarkannya dalam kartu keluarga dengan Majelin sebagai kepalanya. ”Tetapi tidak dibolehkan dinas dukcapil (penduduk dan catatan sipil). Akhirnya Raafi tidak bisa daftar JKN,” katanya.
Sementara itu, Devis mengatakan, keluarga Majelin sulit dijangkau karena bertempat tinggal di area perkebunan di pelosok Desa Kombi. Tanpa kendaraan bermotor, akan sulit mencari bantuan kesehatan. Di samping itu, sinyal ponsel yang terbatas juga menyebabkan keluarga Majelin susah dihubungi.
”Kami dari puskesmas juga kesulitan menghubungi dan memastikan semua warga terdaftar JKN. Kami hanya punya 13 pegawai tetap dan tiga pegawai honorer, tidak sebanding dengan Desa Kombi yang punya 13 desa dan 12.000 penduduk di sekitar 3.500 keluarga,” kata Devis.