Gubernur Bali Setuju Tari Sakral Tak Dipergelarkan secara Komersial
Lima instansi dan lembaga terkait kebudayaan Bali pada Selasa (17/9/2019) menerbitkan surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Lima instansi dan lembaga terkait kebudayaan Bali pada Selasa (17/9/2019) menerbitkan surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral Bali. Melalui surat keputusan bersama tersebut, lebih dari 130 tari tradisional Bali yang digolongkan sebagai tari sakral dilarang dipentaskan kecuali untuk tujuan upacara atau ritual sakral.
Surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu ditandatangani pimpinan lima instansi dan lembaga, yakni Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali, Majelis Desa Adat Bali, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, serta Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.
Penandatanganan surat keputusan dilakukan Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan Adnyana, Ketua Listibiya Bali I Made Bandem, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Rektor ISI Denpasar I Gede Arya Sugiartha, dan Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana di Gedung Jayasabha, kediaman Gubernur Bali di Denpasar. Sementara Gubernur Bali Wayan Koster bersama Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra menyaksikan penandatanganan surat keputusan bersama tersebut.
”Saya sepenuhnya menyerahkan kepada ahlinya,” kata Koster seusai penandatanganan surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu di Gedung Jayasabha.
Kekayaan dan keunikan adat, budaya, dan tradisi serta kearifan lokal Bali yang tumbuh dan hidup di masyarakat Bali selalu berkaitan dengan kepentingan upacara. Sebagai unsur seni dan budaya Bali, menurut dia, tari menjadi seni sakral karena dipergelarkan dalam ritual dan upacara.
Dalam surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu, terdapat lebih dari 130 ragam tari Bali yang diklasifikasikan sebagai tari sakral, antara lain 52 ragam tari baris, 26 ragam tari sanghyang, 26 ragam tari rejang, dan 11 ragam tari barong.
Selain itu, terdapat 19 jenis tarian termasuk tari wayang wong upacara yang dimasukkan sebagai tari sakral karena menjadi bagian dari ritual atau upacara di pura dan wilayah desa adat di Bali. Tari-tarian sakral itu dilarang dipentaskan untuk tujuan nonsakral.
Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Sukawati memberikan apresiasi positif atas terbitnya surat keputusan bersama tersebut. Tjok Oka Sukawati yang juga seniman tari Bali menyatakan setuju atas pelarangan pementasan tari sakral di luar tujuan atau kepentingan ritual atau upacara.
”Saya sebagai seniman tari sakral menyambut baik adanya keputusan bersama antarlembaga ini. Sebagai penari, saya menarikan tarian sakral itu untuk persembahan, bukan untuk komersial,” ujar Tjok Oka Sukawati.
Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan ”Kun” Adnyana menerangkan, surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu dilatarbelakangi keprihatinan dan kecemasan banyak pihak di Bali lantaran banyak tari sakral yang dipentaskan di luar kepentingan ritual atau upacara. Pergelaran tari sakral untuk tujuan nonsakral itu dikhawatirkan menurunkan nilai kesakralan seni Bali yang dipercaya menjadi sumber kreativitas dan penciptaan seni di Bali.
Surat keputusan bersama tentang penguatan dan perlindungan tari sakral itu dilatarbelakangi keprihatinan dan kecemasan banyak pihak di Bali lantaran banyak tari sakral yang dipentaskan di luar kepentingan ritual atau upacara.
Ketua Listibiya Bali I Made Bandem mengatakan, pengklasifikasian seni di Bali menjadi tiga kelompok seni, yakni seni wali (Bali), seni bebali, dan seni balih-balihan, dilangsungkan sejak 1971 dan terus dimutakhirkan setelahnya. Seni wali adalah seni yang mengandung simbol religius dan dipergelarkan sejalan pelaksanaan upacara. Adapun seni balih-balihan adalah seni untuk hiburan dan bersumber dari seni sakral.
”Jikalau seni sakral dipentaskan di ruang profan, seni itu akan kehilangan nilai religi, nilai magis, dan taksu yang menjadi mutu dari seni,” kata Bandem. ”Kami bangga memiliki kesenian yang bersifat religius dan masyarakat Bali menginginkan seni sakral dipelihara sebagai bentuk pengukuhan sarana upacara,” lanjutnya.
Rektor ISI Denpasar I Gede Arya Sugiartha menyatakan, seni sakral, termasuk tari sakral, didudukkan sebagai seni yang bernilai tinggi dan dihormati serta diakui sebagai sumber inspirasi penciptaan seni yang baru.
Ia menambahkan, seni untuk tujuan lain di luar kepentingan ritual atau upacara dapat mengambil bagian atau mengembangkan dari seni sakral. ”Seniman dituntut kreatif dengan membuat seni pertunjukan. Ini bidang yang dapat digarap seniman untuk kepentingan pariwisata atau lainnya,” kata Sugiartha di Jayasabha, Denpasar.
Bendesa Agung (Ketua Umum) Majelis Desa Adat Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menegaskan, masyarakat harus menjaga kesakralan tari dan seni sakral Bali karena seni yang bernilai sakral itu menjadi taksu, atau daya hidup, budaya Bali.
”Taksu Bali inilah yang menarik minat wisatawan datang ke Bali. Jikalau seni sakral ini dijaga dan dilindungi nilai kesakralannya, taksu Bali akan terjaga dan wisatawan akan semakin mencintai Bali,” ujar Sukahet.