Penyebab kematian ikan secara massal di pesisir selatan Pulau Ambon, Maluku, disebabkan penurunan suhu air laut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Hasil penelitian Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Ambon mengungkapkan, penyebab kematian ikan secara massal di pesisir selatan Pulau Ambon, Maluku, disebabkan penurunan suhu air laut. Kondisi itu menyebabkan ikan kehilangan keseimbangan sehingga lemas kemudian terempas dipukul gelombang tinggi.
Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Ambon Ashari Syarief kepada Kompas, Selasa (17/9/2019), mengatakan, suhu di dasar laut sekitar habitat ikan karang itu di bawah 20 derajat celsius pada siang hari. Adapun suhu permukaan laut sekitar 25 derajat celsius. Idealnya, suhu air laut lebih tinggi sekitar 5 derajat celsius. Habitat ikan itu berada pada kedalaman 5 meter hingga 15 meter.
”Pada dini hari, suhu air laut diperkirakan turun lebih jauh dibandingkan dengan siang hari. Suhu dingin ini yang membuat ikan lemas. Saat ikan-ikan itu terdampar, di pesisir selatan Pulau Ambon sedang dilanda gelombang tinggi,” katanya. Pesisir selatan Ambon itu terhubung langsung dengan Laut Banda.
Pukulan gelombang tinggi yang mencapai 4 meter itu menyebabkan tubuh ikan terbentur karang dan benda-benda keras di dasar laut. Menurut hasil pemeriksaan tubuh ikan, terdapat retak dan pendarahan hebat pada bagian punggung ikan. Belasan sampel ikan yang diambil menunjukkan tanda-tanda yang sama.
Pada dini hari, suhu air laut diperkirakan turun lebih jauh dibandingkan dengan siang hari. Suhu dingin ini yang membuat ikan lemas. Saat ikan-ikan itu terdampar, di pesisir selatan Pulau Ambon sedang dilanda gelombang tinggi.
Jenis ikan yang paling banyak ditemukan adalah ikan tatu dari famili Balistidae kemudian ikan naso dari famili Acanthuridae. Bangkai ikan mulai terdampar pada Kamis pekan lalu kemudian membeludak tiga hari kemudian. Ribuan ikan itu terdampar di pesisir Kecamatan Leitimur Selatan, mulai dari Desa Hutumuri sampai Desa Hukurila yang terbentang sepanjang lebih kurang 7 kilometer.
Ashari mengatakan, jenis ikan yang mati itu merupakan yang paling dominan di pesisir tersebut. Ikan itu hidupnya bergerombol sehingga berisiko mengalami mati massal. ”Banyak orang bertanya, mengapa hanya ikan-ikan tertentu yang mati? Ada yang mengaitkan dengan gejala gempa. Kami pastikan isu bencana itu tidak benar,” katanya.
Pihaknya tidak menemukan kandungan berbahaya dalam tubuh ikan. Kandungan berbahaya itu bisa disebabkan oleh ledakan plankton beracun yang terjadi secara alamiah atau potasium yang ditebar orang di perairan itu. Menurut rencana, hasil penelitian itu akan disinkronkan dengan temuan dari Pusat Penelitian Laut Dalam di Ambon.
Diprotes warga
Kematian ikan secara massal itu, oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dikaitkan dengan isu gempa dan tsunami. Masyarakat Kota Ambon semakin panik setelah Pemerintah Kota Ambon memutar audio berisi cara penyelamatan diri pada saat gempa dan tsunami. Audio diputar di semua lampu merah mulai Senin (16/9/2019) malam. Banyak orang yang tinggal di pesisir Pulau Ambon mengungsi ke dataran tinggi.
Sejumlah pihak memprotes pemutaran audio itu sehingga Pemkot Ambon akhirnya mencabutnya pada Selasa siang. ”Justru pesan di lampu merah itu membuat informasi semakin liar ke mana-mana. Ada yang bilang tidak lama lagi Ambon akan dilanda tsunami,” kata Butje Sapulette (45), warga Ambon.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin kembali menegaskan bahwa kematian ikan itu tidak ada kaitannya dengan gempa dan tsunami. Penjelasan itu telah disebar BMKG melalui sejumlah media massa, media sosial, dan grup aplikasi percakapan.