Sekitar 200 warga Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, berunjuk rasa menolak kehadiran para petambang pasir ilegal di desanya.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Sekitar 200 warga Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, berunjuk rasa menolak kehadiran para petambang pasir ilegal di desanya. Para petambang menggunakan alat berat untuk mengeruk pasir di Sungai Serayu sehingga mengancam kelestarian lingkungan.
”Kami meminta alat berat meninggalkan sungai. Ini mengganggu aktivitas warga dan mengancam kelestarian Sungai Serayu,” kata Dewi Utami Sari, warga RT 002 RW 004 Desa Kemangkon, Selasa (17/9/2019).
Sempadan sungai rusak. Kami mau cari ikan juga sulit. Jalan-jalan dipenuhi truk dan mengganggu.
Dewi menyampaikan, penambangan ilegal di desanya itu berlangsung sejak pertengahan Juli 2019 tanpa ada sosialisasi apa pun kepada warga. Warga menolak aktivitas pertambangan karena tidak memilik izin dan membuat warga resah.
”Jalan desa ini sempit dan banyak truk keluar-masuk mengangkut pasir. Sehari 30 sampai 40 truk. Ini meresahkan warga,” katanya.
Solihin (54), warga lainnya, juga meminta petambang segera meninggalkan desa karena merusak lingkungan. ”Sempadan sungai rusak. Kami mau cari ikan juga sulit. Jalan-jalan dipenuhi truk dan mengganggu,” tuturnya.
Menurut Solihin, penambangan pasir menggunakan alat berat dapat cepat merusak sungai dan menyebabkan abrasi. Apalagi, warga sekitar tidak mendapatkan manfaat dari penambangan itu. ”Kalau ditambang secara manual, warga di sini bisa ikut menambang. Ini pakai alat berat,” ujarnya.
Penambangan hari ini kami tutup, alat berat juga diangkut.
Kepala Desa Kemangkon Sarengat mengatakan, pihaknya tidak pernah memberikan surat rekomendasi penambangan galian C karena warga menolak penambangan itu. ”Saya tidak mau menentang warga,” ujar Sarengat.
Camat Kemangkon Yuni Rahayu menyebutkan, aktivitas penambangan di Desa Kemangkon adalah ilegal dan belum berizin. Oleh karena itu, pihaknya juga meminta para petambang menghentikan aktivitas dan segera mengurus izin. ”Penambangan hari ini kami tutup, alat berat juga diangkut. Nanti tinggal proses perizinan dilakukan oleh petambang,” kata Yuni.
Yuni mengatakan, proses perizinan membutuhkan waktu yang lama dan juga akan mendengarkan aspirasi masyarakat. Izin yang diperlukan antara lain izin lingkungan dan juga melihat informasi tata ruang area mana yang bisa ditambang. ”Jadi, izin ini bertahap dan sistemnya gugur. Jika izin pertama (di masyarakat) tidak dipenuhi, seterusnya juga tidak bisa dipenuhi,” ujarnya.
Pada demonstrasi yang digelar di simpang jalan desa, warga membawa sejumlah spanduk dengan berbagai tulisan, antara lain ”Tolak Tambang Pasir” dan ”Kemangkon Bebas dari Tambang”.
Jalan desa yang lebarnya hanya sekitar 4 meter pada tepian kali dipenuhi belasan truk yang parkir dengan muatan penuh pasir. Pada tepi sungai, dinding sungai dikeruk untuk dijadikan akses jalan menuju sungai. Tebing kerukan mencapai lebih dari 5 meter. Tampak dua alat berat di sekitar sungai.
Jalan-jalan di Kecamatan Kemangkon pun sebagian besar rusak bergelombang akibat dilalui truk-truk bermuatan pasir. Padahal, jalan itu merupakan akses utama menuju calon Bandara Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang dibangun. Berulang kali jalan itu diratakan dengan aspal, tetapi tidak lama kemudian kembali bergelombang.
Dodi Hariyanto, perwakilan petambang, mengatakan, dirinya akan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan bersama.