Rayakan Bakat Muda Karawang melalui Festival Teater
Anak muda Karawang, Jawa Barat, mengekspresikan bakat seni teater melalui festival pementasan. Kegiatan ini diharapkan dapat kian mengembangkan iklim keberlangsungan teater di Karawang
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Anak muda Karawang, Jawa Barat, mengekspresikan bakat seni teater melalui festival pementasan. Kegiatan ini diharapkan dapat kian mengembangkan iklim keberlangsungan teater di Karawang.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang mengadakan Festival Teater Karawang pada 18-19 September 2019. Ini merupakan kegiatan tahunan yang diadakan untuk memperingati hari jadi Karawang. Tahun ini, tema yang diambil adalah ”Belajar dari Karya-karya Putu Wijaya”.
Tahun sebelumnya tema yang diambil terkait teater berbahasa Sunda. Para peserta mengatakan, tahun ini tema yang dipilih lebih berat karena untuk mementaskan karya Putu Wijaya dibutuhkan interpretasi dan pemahaman yang tinggi.
Ditemui di belakang panggung, Kamis (19/9/2019) petang, Winarti (18), Ketua Teater Pasundan SMA 1 Klari, mengatakan, pada awal latihan, timnya merasa kesulitan untuk memahami naskah berjudul Alung karya Putu Wijaya.
”Saat naskah ini dibawakan pelajar SMA seperti kami, naskah dramanya tergolong berat. Kami sampai berlatih setiap hari dan berdiskusi bersama untuk mendapatkan feel-nya,” kata Winarti.
Dalam pementasan itu Teater Pasundan memboyong 60 anggotanya untuk terlibat dalam pementasan. Menurut mereka, seni teater merupakan dunia yang menyenangkan karena bisa menempa mental dan membentuk karakter. Festival ini, menurut mereka, menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi dan mengukur kerja keras mereka. Tak pernah puas ialah kunci untuk selalu berkembang.
Sekitar pukul 16.15, festival pun dimulai. Puluhan penonton memenuhi ruang aula. Mereka yang hadir mayoritas adalah anggota seni teater. Keadaan tetap kondusif meski ruangan panas karena hanya ada dua kipas besar yang berputar.
Setiap penampilan dibatasi durasi selama 20 menit. Ada 15 grup dari pelajar dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam kegiatan itu. Tim produksi dari setiap grup teater begitu sigap menata dan merapikan atribut pentas. Tepuk tangan bergemuruh setiap judul karya selesai dibawakan.
Salah seorang penonton, Aldi Vahni (19), mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Karawang, menjelaskan pentingnya keberadaan kegiatan seperti ini bagi kaum muda di Karawang. Menurut dia, seni teater menjadi alternatif di saat jenuh menghadapi pelajaran sekolah atau kuliah. Tema tahun ini, katanya, cukup menantang karena tidak mudah untuk mementaskan naskah karya Putu Wijaya.
”Naskah beliau itu pendek, tapi memahaminya butuh waktu lama. Maknanya tidak tersirat sehingga harus berulang kali baca dan rajin diskusi,” katanya.
Di sudut belakang tempat penonton, seorang pensiunan guru dari SMK 1 Karawang, Harry Baskoro, sedari awal menonton pertunjukan dengan saksama. Ia secara khusus datang ke festival ini untuk bernostalgia ketika dulu dirinya pernah menjadi pelatih teater.
”Saya bisa merasakan daya semangat seni teater begitu membara di sini. Penampilan di panggung tadi mengingatkan saya pada usaha dan kerja keras para pemain yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengembangkan bakat dan potensinya,” ujarnya sambil tersenyum.
Evaluasi
Setiap karya yang dipentaskan akan dievaluasi. Seniman sekaligus pemerhati teater Herman Wijaya Putra secara khusus memberikan masukan dan kritik kepada pemain. Ia mengevaluasi segala unsur yang dirasa masih kurang, tapi juga memuji apabila baik adanya.
Membawakan naskah-naskah pendek karya Putu Wijaya butuh kekuatan imajinasi, kemampuan meramu emosi, dan membedah naskah benar-benar dipertaruhkan.
Menurut dia, dengan membawakan naskah-naskah pendek karya Putu Wijaya, kekuatan imajinasi, kemampuan meramu emosi, dan membedah naskah benar-benar dipertaruhkan. Naskah yang pendek tampaknya memang mudah dilakonkan, tetapi sebetulnya banyak kesulitannya. Kekuatan aktor dalam memerankan tokoh dan kemampuan sutradara dalam mengolah lakon menjadi penentu yang vital, bagaimana drama tersebut disajikan.
Kurangnya pembedahan naskah yang dalam membuat naskah tidak memiliki interpretasi yang luwes. Seyogianya interpretasi memiliki ratusan sayap dengan ribuan kepak. Tentu akan melahirkan ribuan suguhan yang berbeda.
”Sedatar dan sekaku apa pun sebuah naskah, jika tim bisa menginterpretasinya dengan baik, akan menjadi suguhan menarik dan berirama, sehingga melahirkan lakon yang tidak monoton,” ucapnya.