Kantor Bahasa Maluku mencatat sebanyak 58 bahasa daerah di Provinsi Maluku berhasil diidentifikasi selama 11 tahun terakhir. Dari jumlah itu, hanya 30 persen dinyatakan aman.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kantor Bahasa Maluku berhasil mengidentifikasi 58 bahasa daerah selama 11 tahun terakhir. Sebanyak 70 persen di antaranya mengalami kemunduran, terancam punah, bahkan telah punah. Meski memprihatinkan, usaha pelestarian bahasa-bahasa daerah di Maluku masih minim.
Data Kantor Bahasa Maluku menyebutkan, bahasa daerah yang sudah punah, antara lain Kayeli, Palumata, Moksela, dan Hukumina di Pulau Buru. Lalu, ada Piru (Seram barat) dan Loun (Seram bagian utara).
Sementara bahasa daerah yang masuk kategori aman kebanyakan tersebar di wilayah bagian tenggara Maluku, seperti Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, dan Maluku Barat Daya. Wilayah lain yang juga masuk kategori aman adalah pedalaman Pulau Buru dan Pulau Seram.
”Dikategorikan punah kalau penutur di bawah 20 orang dan sudah lanjut usia,” kata Erniati, peneliti bahasa daerah pada Kantor Bahasa Maluku kepada Kompas di Ambon, Jumat (20/9/2019).
Guru PAUD Hunahane di Negeri Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, berkomunikasi dengan anak-anak menggunakan bahasa setempat, Senin (28/9/2015). Kurikulum pembelajaran di PAUD itu menggunakan bahasa setempat, yakni Nuaulu. Tujuannya, melestarikan bahasa Nualu yang terancam punah.Erniati mengatakan, pihaknya tidak ingin kehilangan referensi terkait bahasa daerah yang tumbuh di masyarakat. Oleh karena itu, Erniati mengatakan, pihaknya kembali mengindentifikasi delapan bahasa daerah di lima kabupaten periode Januari hingga pertengahan September 2019.
Delapan Bahasa itu adalah Alune, Wamale, dan Boing di Seram Bagian Timur, Masarete (Pulau Buru), Tarangan Timur (Kepulauan Aru), Teon (Maluku Tengah), Makatian (Kepulauan Tanimbar), dan Main (Maluku Barat Daya). Kantor Bahasa Maluku bahkan telah menyusun peta bahasa daerah yang akan diluncurkan pada Oktober mendatang.
Kantor bahasa Maluku bahkan telah menyusun peta bahasa daerah yang akan diluncurkan pada Oktober mendatang.
Menurut Erniati, proses identifikasi suatu bahasa memerlukan waktu paling cepat dua bulan. Itu di luar perjalanan ke tempat penelitian yang berada di pegunungan, pedalaman, dan pulau terpencil. Tim peneliti mengumpulkan paling sedikit 800 kosakata dari masyarakat setempat untuk dianalisis. Mereka lalu menghitung perbedaan dialektometri antara kosakata di kampung itu dan bahasa yang digunakan di daerah sekitar.
”Jika perbedaan dialektometri itu di atas 81 persen dari jumlah kosakata yang dijadikan sampel, dianggap beda bahasa. Namun, jika perbedaan dialektometri di bawah angka tersebut, dianggap satu bahasa, tetapi beda dialek,” kata Erniati.
Untuk melestarikan bahasa daerah, Kantor Bahasa Maluku telah menyusun empat kamus bahasa daerah, yakni Lisabata, Alune, Hitu, dan Melayu Ambon. ”Di tengah penggunaan bahasa daerah yang semakin tergerus bahasa Melayu, kami melihat komitmen pemerintah daerah untuk melestarikan bahasa daerah sangat minim,” katanya.
Upaya masyarakat
Minimnya perhatian pemerintah kontras dengan inisiatif masyarakat menjaga kelestarian bahasa daerah. Di Dusun Rohua, Desa Sepa, Kabupaten Maluku Tengah, misalnya, taman kanak-kanak setempat menggunakan bahasa Nuaulu. Bahasa tersebut digunakan sebagian masyarakat di pesisir selatan Pulau Seram.
”Sekarang sudah beroperasi tujuh tahun,” kata Hunanatu Matoke, inisiator berdirinya taman kanak-kanak itu.
Hal yang sama terjadi di Desa Haruku, Pulau Haruku. Tokoh adat setempat, Eliza Kissya, mengajarkan anak-anak berbahasa daerah lewat latihan mendongeng. Haruku berjarak sekitar 5 mil laut dari Pulau Ambon.