Pemerintah didesak mengevaluasi penaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok menjadi 23 persen dan kenaikan harga jual eceran sebesar 35 persen pada 2020. Kenaikan sebesar itu akan mengguncang industri rokok.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Pemerintah pusat didesak mengevaluasi kembali kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau rokok menjadi 23 persen dan kenaikan harga jual eceran sebesar 35 persen pada 2020. Selain pertimbangan penambahan penerimaan negara, pemerintah mesti memikirkan efek domino terhadap sektor ekonomi yang ditopang industri rokok.
Pengurus Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya yang juga Corporate Affair PT Tri Sakti Purwosari Makmur, CW Handoko mengatakan pelaku industri rokok tidak alergi terhadap kenaikan tarif cukai sepanjang nilainya wajar. Kenaikan yang dinilai wajar itu berkisar 9-10 persen seperti sebelumnya.
“Pengusaha rokok sangat keberatan dengan kenaikan tarif cukai menjadi 23 persen dan kenaikan harga jual eceran sebesar 35 persen. Hal itu berpotensi menurunkan penjualan produk rokok di pasaran sebesar 15 persen,” ujar Handoko, Minggu (22/9/2019) petang di Sidoarjo.
Handoko mengatakan penurunan pemasaran produk rokok sebesar 15 persen akan berdampak terhadap kinerja industri. Pengusaha rokok jelas akan merevisi rencana kerjanya termasuk mengevaluasi komponen-komponen biaya produksi. Sekitar 40 persen biaya produksi rokok berasal dari tarif cukai.
Handoko mengatakan, berdasarkan perhitungan Gapero Surabaya, kenaikan tarif cukai rokok idealnya sekitar 10 persen. Namun, pihaknya masih bisa menoleransi apabila kenaikan tarif cukai diusulkan menjadi 12-15 persen. Kenaikan tarif cukai di atas 15 persen diyakini mengguncang industri rokok.
Guncangan yang signifikan bisa berdampak terhadap kebijakan rasionalisasi karyawan meskipun hal itu sangat dihindari pelaku usaha. Industri rokok merupakan industri padat karya yang menciptakan banyak lapangan kerja bagi masyarakat terutama perempuan dengan pendidikan dan keterampilan minimal.
Salah satu karyawan pabrik rokok, Srikayatun mengatakan, di tempatnya bekerja di Surabaya saat ini memiliki 1.425 karyawan. Sekitar 85 persen di antaranya adalah perempuan. Usia mereka beragam dari 25 tahun hingga lebih dari 40 tahun. Namun, latar belakang pendidikannya rata-rata sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
“Apabila terjadi rasionalisasi karyawan, ke mana para buruh ini harus mencari tempat kerja baru. Kebanyakan mereka menjadi tulang punggung keluarga,” kata Srikayatun yang bekerja sebagai pengawas di pabrik rokok.
Dengan situasi ekonomi makro yang juga sedang lesu, lapangan pekerjaan sangat terbatas. Itupun persaingannya sangat ketat sehingga peluang bekerja di sektor formal amat kecil.
Mustain, buruh lainnya menambahkan, rata-rata, seorang buruh pabrik rokok menanggung biaya ekonomi tiga anggota keluarga. Dengan situasi ekonomi makro yang juga sedang lesu, lapangan pekerjaan sangat terbatas. Itupun persaingannya sangat ketat sehingga peluang bekerja di sektor formal amat kecil.
Anggota DPR RI yang juga Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Migran Partai Kebangkitan Bangsa Dita Indah Sari mengatakan kenaikan tarif cukai rokok tidak hanya berdampak pada industri pengolahan rokok, tetapi juga petani tembakau dan sektor usaha terkait.
Berdasarkan data yang dia himpun, Industri Hasil Tembakau (IHT) mampu menyerap 7 juta tenaga kerja secara langsung. Sementara secara tidak langsung, IHT berdampak pada penyerapan tenaga kerja seperti pedagang eceran sebanyak 2,9 juta dan petani cengkeh sebanyak 1,6 juta.
Penerimaan cukai rokok setara dengan 95,8 persen dari total penerimaan cukai nasional.
Kementerian Perindustrian merilis, ekspor produk tembakau dari Indonesia pada 2018 naik 2,97 persen menjadi 931 juta dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 904 juta dolar AS. Adapun penerimaan cukai rokok 2018 tumbuh 4,08 persen menjadi Rp 153 triliun. Penerimaan cukai rokok setara dengan 95,8 persen dari total penerimaan cukai nasional.
Anggota DPRD Jatim Anik Masclachah menambahkan, Jatim memiliki kontribusi terbesar terhadap produksi tembakau dan industri pengolahannya. Sebagai gambaran, produksi tembakau Jatim 2018 mencapai 130.000 ton dengan lahan seluas 114.000 hektar. Tahun ini, produktivitas tembakau diprediksi naik karena musim kemarau lebih panjang.
“Data BPS menunjukkan, selama rentang Januari-Juli 2019, ekspor tembakau dari Jatim mencapai 324,03 dolar AS naik 13,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 284,25 dollar AS,” ucap Anik.
Fraksi PKB DPRD Jatim berencana membicarakan kenaikan tarif cukai rokok dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Harapannya, gubernur mendukung revisi kenaikan tarif cukai agar tidak menimbulkan goncangan besar terhadap struktur industri hasil tembakau.
Secara nasional, Dewan Pengurus Pusat PKB meminta pemerintah mempertimbangkan kenaikan tarif cukai rokok yang berdampak sistemik terhadap petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat dalam industri hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai diusulkan 12-15 persen karena dinilai wajar.
Upaya pemerintah mencegah perokok usia dini mesti dilakukan dengan penguatan edukasi kepada anak-anak dan penegakan hukum terhadap para pelanggar aturan tata niaga rokok. Kenaikan tarif cukai rokok yang tinggi dikhawatirkan justru memicu banjirnya rokok ilegal di pasaran.
Selain itu, pemerintah harus memperhatikan kesehatan warga dengan cara memperbaiki sistem kesehatan di antaranya mendirikan rumah sakit khusus paru-paru dan jantung dengan dana bagi hasil cukai tembakau.