Mahasiswa di Bandung Kembali Suarakan Penolakan RUU Kontroversial
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat berunjuk rasa di depan gerbang Gedung DPRD Jabar, Kota Bandung, Selasa (24/9/2019). Mereka tetap menuntut penundaan pengesahan sejumlah RUU, antara lain RUU KUHP.
Oleh
Samuel Oktora
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Sedikitnya 500 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat atau Alarm berunjuk rasa di depan gerbang Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Selasa (24/9/2019). Mereka tetap menuntut penundaan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang, salah satunya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Massa yang juga terdiri dari kalangan buruh, penggiat hak asasi manusia, dan pelajar itu saling bergantian berorasi. Mereka juga memampangkan sejumlah poster yang berisi tuntutan dan kritikan kepada DPR.
Mereka menyampaikan tuntutan di sejumlah sektor, di antaranya pada sektor pertambangan dan pertanahan, yakni menolak pengesahan RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batubara, menolak privatisasi air, serta menangkap dan mengusut tuntas pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Tuntutan lainnya adalah menolak pengesahan RUU KUHP, perlindungan kebebasan beragama, mencabut surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yang diskriminatif, menghentikan rasisme dan diskriminasi terhadap kaum minoritas, juga menolak pengesahan RUU Pemasyarakatan.
Massa juga menolak hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yusuf Bachtiar (23), mahasiswa Universitas Islam Bandung, di sela unjuk rasa, mengatakan, RUU KUHP terlalu jauh mengurus privasi warga. ”RUU KUHP ini juga sebagai upaya pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ruang demokrasi hendak dibungkam karena di dalamnya terdapat pasal karet seperti makar dan pasal penghinaan. Bayangkan, sebelum ada RUU KUHP saja dalam praktiknya setiap aksi massa kerap mendapat tindakan represif aparat dan tidak ada tindak lanjut. Bagaimana jadinya kalau RUU KUHP ini disahkan,” kata Yusuf.
Sementara itu, penggiat HAM yang turut bergabung dalam aksi ini, Deti Sopian (33), menuntut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan. Selama ini, negara dinilai belum menyediakan ruang yang aman bagi perempuan sehingga rentan terjadi kekerasan seksual. Tidak ada pula sanksi yang jelas terhadap para pelaku kekerasan seksual.
”Mengapa DPR malah membahas RUU yang akan membungkam demokrasi? Ada hal lain yang tak kalah penting, yakni menyangkut keamanan perempuan. Kami menuntut RUU PKS segera disahkan sehingga dapat diwujudkan ruang aman ramah jender,” ucap Deti.