Penggunaan Bahan Berbahaya Hancurkan Citra Produk UMKM
Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Nusa Tenggara Barat, terus didorong menghindari penggunaan bahan berbahaya pada produknya. Penggunaan bahan kimia berbahaya akan memberi citra buruk produk lokal.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Nusa Tenggara Barat, terus didorong menghindari penggunaan bahan berbahaya pada produknya. Selain membahayakan kesehatan warga, penggunaan bahan kimia berbahaya akan memberi citra buruk pada produk lokal.
Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Mataram, Nyoman Sumasada, Selasa (24/9/2019), mengatakan secara umum, penggunaan bahan berbahaya semakin jarang ditemui pada produk makanan di Lombok.
"Berdasarkan sejumlah inspeksi secara rutin, hasil sampel produk jajanan yang dijual di sejumlah pasar dan sekolah di Mataram maupun desa-desa di Pulau Lombok sudah jarang didapati kandungan produk berbahaya," jelasnya seusai acara pembukaan Intervensi Keamanan Pangan Bagi UMKM Bidang Pangan di Kantor Gubernur NTB, Mataram, Lombok.
Biasanya, zat berbahaya yang digunakan dalam makanan antara lain mengandung pewarna sintetis dengan warna menyolok seperti rodhamin B (merah menyala), boraks berwarna kuning mengilat yang biasanya digunakan pada produk kerupuk, serta formalin.
Hasil uji sampel itu cukup bagus karena produsen rata-rata tidak lagi menggunakan zat berbahaya. “Kadang-kadang ada satu-dua yang memakai, tapi sudah jauh berkurang. Kalau lima tahun lalu, hampir semua produk memakai zat kimia berbahaya,” ujar Sumasada.
Untuk mengurangi penggunaan zat berbahaya pada produk siap saji, Balai POM Mataram, memberikan sosialisasi, penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat. Saat ini, binaan BPOM Mataram meliputi 839 sekolah dan 82 desa. Menurut Sumasada, pihaknya juga menginisiasi pelatihan untuk memperkaya pengetahuan UMKM dalam memproduksi olahan pangan berkualitas, aman, bergizi, dan terjamin kesehatannya.
Dia menambahkan, dalam lima tahun terakhir, tidak ada laporan dari masyarakat dan siswa yang keracunan setelah mengonsumsi makanan yang tercemar oleh bahan kimia dan cemaran mikrobiologi.
Sementara itu, Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah, meminta pelaku UMKM untuk terus berkreasi dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya. Menurut dia, UMKM berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, produk pangan diharapkan tidak ditambah zat berbahaya seperti pemanis dan pengawet pada makanan yang akan membahayakan kesehatan konsumen.
Dalam tahap proses produksi makanan olahan, UMKM juga diminta berpartisipasi dalam program zero waste seperti memilah dan mengumpulkan produk sampahnya untuk kemudian dijual ke penampung yaitu bank sampah. Menurut Sitti, pengolahan sampah sangat penting agar tidak menjadi penyebab penyakit. "Bahkan, sampah bisa menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat," jelasnya.
Direktur Pemberdayaan Masyarakat dan Pelaku Usaha Badan POM RI, Dewi Prawita Sari, mengatakan, kegiatan intervensi itu dimaksudkan untuk memberdayakan UMKM pangan. Pada 2019, Badan POM melakukan pendampingan bagi 8.000 UMKM tersebar di 11 provinsi. Di NTB, ada 1.000 UMKM yang mendapat intervensi. Mereka meliputi 500 UMKM di Kota Mataram, Lombok Barat dan Lombok Utara, 250 UMKM di Lombok Tengah, serta 250 UMKM di Kabupaten Bima.
Menurut Dewi, memproduksi pangan yang aman, bermutu, dan bergizi harus sesuai aturan, seperti UU Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan, dan Peraturan Kepala Badan POM. Ketentuan-ketentuan itu menjadi prasyarat produsen pangan industri rumah tangga mengantongi izin edar. Salah satu ketentuannya adalah pangan olahan harus dikemas dan masa simpannya lebih dari tujuh hari.