Administrasi Kependudukan Masih Amburadul Menjadi Pintu Masuk
Warga Kalimantan Barat kerap menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Modusnya mulai dari tawaran bekerja di luar negeri hingga pengantin pesanan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Warga Kalimantan Barat kerap menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Modusnya mulai dari tawaran bekerja di luar negeri hingga pengantin pesanan. Penyebabnya, selain faktor ekonomi juga karena sistem administrasi kependudukan yang masih bermasalah.
Beberapa bulan lalu terungkap puluhan perempuan di Kalimantan Barat menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan warga negara China. Para korban terbujuk rayuan comblang. Setelah tiba di China, korban ada yang diperlakukan tidak manusiawi oleh suaminya. Puluhan korban beberapa waktu lalu bahkan dipulangkan ke Tanah Air. (Kompas, 11/7/2019).
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji dalam Rapat Koordinasi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Rabu (25/9/2019), mengungkapkan, masalah perdagangan orang melalui berbagai modus karena faktor masalah ekonomi. Maka, saat dikawinkan korban dijanjikan sejumlah uang, tetapi yang banyak mengambil keuntungan malah para comblang.
Selain itu masalahnya adalah dokumen kependudukan. Dalam kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan, usia korban ada yang dinaikkan. Usia korban sebenarnya 12 tahun malah menjadi 14 tahun. Kemudian, statusnya juga dipalsukan. Ada kelemahan pada administrasi pendudukan, kata Sutarmidji.
Kalau perdagangan orang dengan modus ditawari bekerja ke luar negeri, korban biasanya dirayu oleh pelaku, bahwa setelah sampai di negara tujuan akan diberi upah tinggi. Padahal, yang berangkat umumnya tidak memiliki keterampilan yang memadai. Hal ini harus disadari masyarakat, karena setelah tiba di tempat tujuan korban malah dieksploitasi.
“Selain itu masalahnya adalah dokumen kependudukan. Dalam kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan, usia korban ada yang dinaikkan. Usia korban sebenarnya 12 tahun malah menjadi 14 tahun. Kemudian, statusnya juga dipalsukan. Ada kelemahan pada administrasi pendudukan,” kata Sutarmidji.
Sebagai contoh, surat keterangan tanda penduduk yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagai pengganti KTP-el karena daerah kekurangan blangko untuk membuat TKP-el, harusnya yang aman hanya digunakan untuk satu keperluan saja. Hal itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan pemanfaatan surat keterangan.
Stop penerbitan surat
“Saya menginstruksikan kepada dinas terkait agar surat keterangan pengganti KTP-el sementara itu tidak dipergunakan untuk berbagai keperluan. Cukup untuk satu keperluan saja untuk menghindari penyelahgunaan. Selain itu, pihak Imigrasi juga harusnya memiliki alat untuk memastikan bahwa KTP-el yang dipergunakan seseorang asli atau paslu. Sebab, KTP-el bisa dipalsukan,” papar Sutarmidji.
Menurut Sutarmidji, sistem administrasi kependudukan Indonesia belum beres. Surat keterangan tanda penduduk selalu dikeluarkan karena blangko KTP-el selalu tidak mencukupi di kabupaten/kota. Pusat juga tidak menyediakan sesuai dengan kebutuhan di daerah.
Maka, banyak surat keterangan penduduk dikeluarkan sebagai solusi sementara saat KTP-el belum bisa dibuat. Sulit mengontrol surat keterangan penduduk tersebut. Padahal pintu masuk kejahatan perdagangan orang dari situ.
Kepala Kepolisian Daerah Kalbar Inspektur Jenderal Didi Haryono, menuturkan, kasus TPPO yang ditangani Polda Kalbar pada 2016 sebanyak 18 kasus, pada 2017 sebanyak 24 kasus, dan pada 2018 sebanyak 16 kasus. Sedangkan pada 2019 hingga Semptember ada 16 kasus.
Untuk mencegah perdagangan orang memerlukan komitmen dari penyelenggara negara untuk tertib administrasi terutama terkait identitas warga. Kemudian, kepedulian dari lingkungan. TPPO tidak terjadi jika keluarga dan masyarkat segera melaporkan jika ada indikasi TPPO di lingkungannya.
Didi berharap sistem dokumen kependudukan dibenahi, sehingga TPPO dengan berbagai modus termasuk pengantin pesanan tidak terjadi lagi di Kalbar. Apalagi, kemungkinan yang menjadi korban masih banyak hanya saja mungkin ada yang malu melapor atau ada intimidasi dari para pelaku tindak pidana perdagangan orang, sehingga para korban tidak berani melapor kepada kepolisian.