Budidaya Ikan di Lampung Terhambat Mahalnya Harga Pakan
Biaya pakan yang tinggi menjadi salah satu hambatan bagi usaha budidaya perikanan skala kecil di Lampung. Pemerintah mendorong pembudidaya membuat pakan ikan mandiri memanfaatkan bahan baku limbah lokal.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KALIANDA, KOMPAS – Biaya pakan yang tinggi menjadi salah satu hambatan bagi usaha budidaya perikanan skala kecil di Lampung. Pemerintah mendorong pembudidaya membuat pakan ikan mandiri memanfaatkan bahan baku limbah lokal.
Hal itu terungkap dalam diskusi antara pembudidaya ikan saat diskusi bersama Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, Rabu (25/9/2019), di Desa Marga Agung, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.
Selain harga pakan yang tinggi, harga jual ikan justru merosot saat panen. Akibatnya, tak sedikit pembudidaya ikan yang merugi dan terpaksa gulung tikar.
“Saat ini, harga ikan patin hanya Rp 10.000 – Rp 11.000 per kilogram, merosot dari sebelumnya Rp 18.000 per kilogram,” ungkap Wakil Ketua Asosiasi Pelaku dan Pengusaha Perikanan Lampung Tengah Sudiyono.
Dia menambahkan, sejumlah pembudidaya ikan skala kecil di Lampung Tengah juga gagal panen karena air kolam surut saat kemarau. Mereka terpaksa memanen ikan lebih cepat untuk mencegah ikan-ikan mati di kolam.
Pembudidaya berharap, pemerintah dapat mengatur harga jual ikan minimal di tingkat petani. Selain itu, pemerintah juga diharapkan membantu pembudidaya memperluas pasar. Alasannya, selama ini, ikan hasil budidaya baru diserap pasar lokal di Lampung.
Menanggapi keluhan itu, Slamet menjelaskan, biaya pakan yang tinggi tersebut akibat bahan baku utama pakan yang diproduksi perusahaan berasal dari produk impor. Dia mendorong pembudidaya skala kecil membuat pakan mandiri memanfaatkan bahan lokal.
“Pakan merupakan komponen terbesar dalam budidaya. Porsinya sekitar 70 persen. Pembuatan pakan mandiri ini bisa menekan biaya,” kata Slamet.
Menurut dia, pemerintah telah memberi bantuan sarana dan prasarana agar pembudidaya mampu memproduksi pakan mandiri, antara lain mesin dan bahan baku pakan mandiri. Selain itu, pembudidaya juga mendapatkan pelatihan pembuatan pakan mandiri melalui kegiatan temu lapang dengan pembudidaya lainnya.
Saat ini, pemerintah juga sedang merintis percontohan pakan mandiri berbahan baku tepung biji karet di Kampar, Riau. Bahan baku ini dipilih karena mudah ditemukan dan mengandung kadar protein tinggi mencapai 41,27 persen.
Terkait harga ikan yang merosot, Slamet berjanji membantu pembudidaya memperluas pasar dengan pelaku usaha industri pengolahan ikan dan eksportir. Namun, pembudidaya juga dituntut mampu menjamin kualitas ikan hasil budidaya.
Bahan lokal
Di Lampung, sudah ada sedikitnya 41 kelompok pembudidaya ikan yang mampu memproduksi pakan ikan mandiri. Pembudidaya memanfaatkan bahan baku lokal, seperti limbah ikan, jagung, dan kedelai.
Pakan mandiri dijual Rp 7.000 per kg pada anggota kelompok. Harga ini lebih mudah dibandingkan pakan yang dibeli dari pabrik yang mencapai Rp 10.000 per kg
Suroto dari Kelompok Pembudidaya Ikan Mandiri Sentosa, Desa Marga Agung menuturkan, kelompoknya sudah memproduksi pakan ikan mandiri, sejak dua tahun lalu. Setiap bulan, kelompoknya memproduksi 15-18 ton pakan.
“Pakan mandiri dijual Rp 7.000 per kg pada anggota kelompok. Harga ini lebih mudah dibandingkan pakan yang dibeli dari pabrik yang mencapai Rp 10.000 per kg,” kata Suroto.
Saat ini, kelompoknya bekerjasama dengan mahasiswa Universitas Lampung juga tengah melakukan ujicoba pembuatan pakan dengan bahan baku tambahan tanaman indigofera. Tanaman yang banyak tumbuh di sekitar rumah warga ini dipilih karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, mencapai 27,5 persen.