Aksi massa yang dipelopori mahasiswa di Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu (25/9/2019), berbuah komitmen dukungan DPRD Sulut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS - Aksi massa yang dipelopori mahasiswa di Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu (25/9/2019), berbuah komitmen dukungan DPRD Sulut. Setelah berdemonstrasi selama hampir lima jam, enam anggota DPRD Sulut akhirnya menyatakan sepakat dengan sembilan tuntutan mahasiswa dan berjanji menyampaikannya kepada DPR.
Ratusan mahasiswa yang menamakan diri Komite Aksi Mahasiswa Sulut memulai aksinya dengan berjalan sejauh 5,5 kilometer dari Lapangan Sparta Tikala menuju Gedung DPRD Sulut. Gabungan mahasiswa ini berasal dari beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Sam Ratulangi, Politeknik Negeri Manado, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Manado, Universitas De La Salle, dan Universitas Pembangunan Indonesia Manado.
Sembilan tuntutan yang diajukan antara lain menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2012 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP), serta RUU Pertanahan. Mereka juga menolak kenaikan iuran BPJS, pencabutan subsidi listrik, keterlibatan militer dalam konflik agraria serta konflik di Papua. Ada pula tuntutan penyelesaian kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera serta penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau.
Jenderal Komite Aksi Mahasiswa Sulut M Fadly Ibrahim (25) dari Universitas Sam Ratulangi mengatakan, salah satu kekhawatiran terbesar mahasiswa di Manado adalah RKUHP. Menurut dia, DPR malah lebih banyak mengurusi hal yang tidak substantif dalam pemerintahan, seperti hubungan asmara warga, denda terhadap gelandangan, dan pembatasan kebebasan lainnya.
"RUU Pertanahan juga mengkhawatirkan karena tanah adat bisa diambil dan dikelola oleh negara. Ini berisiko mematikan budaya komunitas yang menempatinya serta berujung pada eksploitasi yang tidak sesuai kepentingan rakyat," kata Fadly.
Aspirasi adik-adik mahasiswa harus ditampung karena negara ini dibangun dengan usaha mahasiswa.
Fadly juga mengatakan, pihaknya menuntut UU KPK dicabut karena lebih banyak memperlemah daripada membenahi internal KPK. Adapun aktivitas militer di Papua dan Papua Barat saat ini dinilai sudah kelewatan seiring jatuhnya ratusan korban jiwa.
Para mahasiswa ditemui oleh tujuh anggota DPRD Sulut periode 2019-2024 di halaman kompleks gedung, yaitu Victor Mailangkay, Amir Liputo, Yusra Al Habsyi, Fransiscus Silangen, Melky Pangemanan, Fabian Kaloh, serta Sandra Rondonuwu. "Aspirasi adik-adik mahasiswa harus ditampung karena negara ini dibangun dengan usaha mahasiswa. Kami akan mempertimbangkan dan memperjuangkan tuntutannya," kata Sandra.
Melky Pangemanan menambahkan, DPRD memiliki perjuangan yang sama dengan mahasiswa. "Kami akan mempelajari tuntutan itu dulu. Percayalah, kami akan bawa ini ke DPR untuk diperjuangkan," katanya.
Meski demikian, para mahasiswa menolak dan terus mendesak agar ketujuh anggota dewan menandatangani saat itu juga surat komitmen dukungan DPRD Sulut terhadap sembilan tuntutan mereka. Mereka meminta tuntutan itu disampaikan segera pada Kamis (26/9). Amir Liputo pun mengajak perwakilan mahasiswa untuk mencetak surat komitmen tersebut di gedung DPRD.
Kami akan menyampaikan kepada DPR untuk menyetujui semua tuntutan komite.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, para anggota dewan yang sebelumnya menemui mahasiswa kembali ke halaman gedung. Namun, Sandra Rondonuwu tidak ikut serta. Meski telah dipanggil dengan nyanyian mahasiswa, Sandra tetap tidak muncul.
Victor Mailangkay yang menjabat wakil ketua sementara DRPD Sulut menyatakan menyetujui dan mendukung penuh tuntutan yang disampaikan Komite Aksi Mahasiswa Sulut. "Kami akan menyampaikan kepada DPR untuk menyetujui semua tuntutan komite," katanya. Kemudian, satu persatu dari keenam anggota dewan itu menandatangani surat tersebut.
Fadly pun mengapresiasi sekaligus mengingatkan komitmen keenam anggota dewan tersebut. "Kami berterima kasih karena mereka sudah mau dijadikan jaminan yang menjadikan tuntutan kami berlegitimasi. Namun, kalau kepercayaan kami ini dicederai, harus dicamkan bahwa kami akan datang lagi dengan jumlah yang jauh lebih besar," katanya.
Sebelumnya, terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat kepolisian di gerbang timur dan barat kompleks gedung DPRD Sulut. Itu diawali pelemparan batu dan botol-botol ke arah polisi, yang dibalas dengan tembakan gas air mata.
Bentrokan tersebut menyebabkan beberapa mahasiswa terluka dan pingsan. Gerbang barat kompleks gedung DPRD Sulut dirobohkan oleh para anggota Komite Aksi Mahasiswa Sulut, yang kemudian merangsek masuk sebelum akhirnya ditemui oleh anggota DPRD Sulut. Pembakaran ban juga mewarnai aksi tersebut.
Kosongkan kampus
Sebagian dari mahasiswa yang terluka dan pingsan akibat bentrokan berasal dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado. Meski serentak, mereka menggelar aksi secara terpisah dari Komite Aksi Mahasiswa Sulut.
Kendati begitu, Nova (23), mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Manado mengatakan, penggelaran aksi secara terpisah bukan masalah karena tuntutan mereka serupa. "Memang enggak gabung, tapi yang penting tetap satu suara bisa berdampak besar," katanya.
Menurut Nova, Dewan Mahasiswa IAIN Manado telah meminta izin dari wakil rektor untuk menggelar aksi. "Rektor menyepakati dan kampus hari ini diliburkan supaya kami bisa ikut aksi," katanya.
Adapun mahasiswa IAIN Manado juga mengajukan tuntutan sama terkait RKUHP, RUU Pertanahan, dan Revisi UU KPK. Mereka juga mendorong disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Aksi hari ini juga diwarnai poster berisi kata-kata satire. Salah satunya, "Tidur waktu rapat, istrinya jalan-jalan, rakyatnya menderita. Lucunya negeriku."