Ratusan masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berunjuk rasa di Polres Simalungun. Mereka meminta dua warga yang ditangkap akibat konflik dengan PT TPL.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
SIMALUNGUN, KOMPAS – Ratusan masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berunjuk rasa di Polres Simalungun, Rabu (25/9/2019). Mereka meminta dua warga yang ditangkap akibat konflik lahan masyarakat adat dengan PT Toba Pulp Lestari dilepaskan.
Dua warga Desa Sihaporas yang ditangkap adalah Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita. Mereka ditangkap pada Selasa (24/9) saat dimintai keterangan sebagai saksi.
“Kami meminta masyarakat adat Desa Sihaporas jangan dikriminalisasi. Kami melaporkan dugaan penganiayaan terhadap masyarakat adat, malah kami yang ditangkap,” kata Anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Baren Ambarita.
Baren mengatakan, kasus bermula saat masyarakat adat Desa Sihaporas menanam pisang dan jagung di bekas hutan industri eukaliptus yang telah dipanen oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Masyarakat adat mengklaim lahan tersebut sebagai tanah ulayat Lembaga Adat Lamtoras.
Baren mengatakan, konflik pecah pada Senin (16/9/2019) saat petugas TPL datang ke lahan tersebut. Saat terjadi dialog antara warga dengan petugas, seorang petugas TPL mendorong warga yang sedang bertani dan mengambil cangkulnya. “Seorang anak berusia tiga tahun pun dipukul petugas TPL,” kata Baren.
Baren mengatakan, beberapa warga Desa Sihaporas secara spontan melawan. Perkelahian pun tidak terelakkan sehingga mereka saling pukul.
Perkelahian pun tidak terelakkan sehingga mereka saling pukul.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Tano Batak Roganda Simanjutak mengatakan warga Desa Sihaporas akan menginap di Polres Simalungun sebagai bentuk protes. Mereka meminta Polres Simalungun membebaskan warga yang ditangkap, memproses laporan warga, dan meminta polisi bersikap netral.
Sekretaris Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Manambus Pasaribu, penasihat hukum warga Desa Sihaporas, mengatakan, warga telah melaporkan pemukulan yang mereka alami kepada Kepolisian Resor Simalungun. “Namun, dua warga yang diperiksa sebagai saksi langsung ditangkap atas laporan penganiayaan dari TPL,” katanya.
Menurut Manambus, tindakan kepolisian tersebut berlebihan. Apalagi, keduanya ditangkap saat istirahat makan siang di sela pemeriksaan sebagai saksi korban atas laporan warga. Mereka langsung diborgol dari kantin. “Kami melihat tidak ada sesuatu yang mengharuskan mereka ditangkap dan ditahan,” katanya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Simalungun Ajun Komisaris Muhammad Agustiawan mengatakan, Thomson dan Jonni ditangkap atas dugaan penganiayaan terhadap karyawan TPL. “Proses penangkapannya juga sudah sesuai prosedur,” katanya.
Agustiawan mengatakan, mereka juga memroses laporan dari masyarakat adat yang mengatakan ada anak berumur tiga tahun dipukul. Namun, hasil pemeriksaan visum di RSUD Tuan Rondahaim Simalungun menyatakan tidak ditemukan tanda kekerasan pada anak tersebut. Polisi pun masih terus mendalami kasus itu.
Manajer Komunikasi PT TPL Norma Hutajulu, ketika dikonfirmasi meminta agar Kompas mengirimkan pertanyaan tertulis. Namun, hingga Rabu, pukul 21.30, PT TPL belum menjawab pertanyaan yang dikirim Kompas. Pantauan Kompas, selama ini sebagian besar konflik warga dengan PT TPL terjadi terkait adanya tumpang tindih lahan konsesi perusahaan dengan lahan adat warga.
Menurut Baren, Lembaga Adat Lamtoras mempunyai hak ulayat seluas 2.000 hektar di Desa Sihaporas. Nenek moyang mereka yang bermigrasi dari Pulau Samosir ke Simalungun itu sudah mengusahakan lahan sejak tahun 1.800-an. Lahan tersebut ketika itu menjadi lahan pertanian dan hasil hutan. Permakaman masyarakat juga dibuat di areal itu.
Namun, pada 1910-an, penjajah Belanda mengambil lahan tersebut dari masyarakat adat dan menanam pinus di sana. “Ketika itu Belanda menjanjikan akan mempekerjakan masyarakat di hutan industri pinus dan membagi hasil dengan masyarakat,” kata Baren. Ketika Indonesia merdeka, kata Baren, lahan itu dimasukkan menjadi kawasan hutan. Masyarakat pun tidak memprotes karena masih mendapatkan hasil hutan dari wilayah itu.
Namun, pada 1990-an, pemerintah memberikan lahan itu sebagai konsesi TPL. “Sejak saat itu, konflik berulang kali terjadi,” kata Baren. Pada tahun 2002 dan 2004, tiga orang warga Sihaporas juga ditangkap terkait konflik lahan dengan PT TPL.