Penangkapan tiga WNI di Singapura yang terlibat jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS menunjukkan potensi kerawanan perempuan pekerja migran terpapar radikalisme masih tinggi.
Oleh
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS – Penangkapan tiga WNI di Singapura yang terlibat jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS menunjukkan potensi kerawanan perempuan pekerja migran terpapar radikalisme masih tinggi. Mereka diketahui ikut mendanai NIIS sejak 2018 setelah terpapar paham tersebut melalui internet.
Dihubungi dari Batam, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, Selasa (24/9/2019) mengatakan, pekerja migran perempuan sangat rawan terpapar paham radikal. Radikalisme agama kerap kali dipilih menjadi pelarian para pekerja yang kesepian, bermasalah di tempat asal, dan kesulitan beradaptasi di tempat baru.
Ia mencontohkan, tiga orang perempuan pekerja migran yang kisahnya pernah difilmkan dalam dokumenter Pengantin awalnya juga terpapar paham radikalisme yang berawal dari pacar daring. Hubungan asmara daring menjadi pilihan bagi pekerja migran untuk melarikan diri dari tekanan hidup di negara perantauan.
Pada saat bersamaan, organisasi radikal melihat potensi kerawanan itu sebagai peluang menyebarkan ideologinya. Berawal dari hubungan kasih, para perempuan pekerja migran digiring menuju pelarian selanjutnya, yaitu agama. Di tengah beratnya beban hidup, mereka diimingi surga sebagai tujuan terakhir.
Media sosial memungkinkan hal ini berjalan efektif. Algoritma mengunci pengguna dalam satu lingkungan yang ia suka. Secara terus-menerus para perempuan pekerja migran diberondong berbagai macam propaganda radikal hingga mereka terbiasa, simpatik, lalu akhirnya ikut berkontribusi aktif.
Penangkapan tiga pekerja migran Indonesia yang dirilis Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA), Senin (23/9), membuktikan potensi kerawanan itu masih tinggi. Pemerintah Indonesia perlu menyikapi hal ini secara serius karena radikalisme bisa mendorong seseorang melakukan kekerasan dalam waktu singkat.
“Sebenarnya bukan hanya di Singapura, di negara lain juga begitu, hanya saja yang paling getol memerangi paham radikalisme adalah Singapura,” kata Huda yang juga merupakan Visiting Fellow di S Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Dihubungi dari Batam, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, tiga WNI itu terancam penjara selama 2 tahun jika terbukti melanggar Undang-undang Keamanan Dalam Negeri Singapura.
“Yang ditangkap awalnya ada empat orang. Satu orang inisial SS telah dipulangkan ke Indonesia, Minggu (15/9), karena tidak terbukti memiliki hubungan aktif dengan jaringan NIIS,” kata Yudha.
Dalam rilis pers di laman resmi Kemdagri Singapura, disebutkan tiga orang yang ditahan di Penjara Changi adalah Anindia Afiyantari (33), Retno Hernayani (36), dan Turmini (31). Ketiga perempuan itu diketahui sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga di Singapura antara 6 tahun sampai 13 tahun.
Yang ditangkap awalnya ada empat orang. Satu orang inisial SS telah dipulangkan ke Indonesia, Minggu (15/9), karena tidak terbukti memiliki hubungan aktif dengan jaringan NIIS, kata Yudha.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura saat ini masih terus memantau kasus tersebut. Dalam kunjungan terakhir perwakilan KBRI ke Penjara Changi, Kamis (19/9), kondisi ketiga WNI itu terpantau baik. Mereka diperlakukan dengan semestinya dan semua haknya dipenuhi selama dipenjara.
Internet
Tiga WNI itu awalnya terpapar paham radikal lewat bacaan di internet. Pemahaman itu semakin mengkristal saat mereka bergabung dengan sejumlah grup percakapan daring dan sosial media pro-NIIS. Dari situlah mereka akrab dengan sejumlah propaganda NIIS termasuk ajakan melakukan bom bunuh diri.
Selain itu, mereka diketahui juga terpengaruh dengan ceramah radikal dari Indonesia, yaitu Aman Abdurrahman dan Usman Haidar. Aman adalah pendiri Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sekaligus otak aksi teror di Thamrin pada 2016. Sedangkan Usman merupakan anggota Jemaah Islamiyah (JI) yang terlibat dalam pengeboman JW Mariot pada 2003.
Aninda dan Retno diketahui secara intensif telah dipengaruhi pacar daring mereka untuk pindah ke Filipina bagian selatan, Afganisan, atau Afrika untuk bergabung dengan NIIS. Aninda terinspirasi untuk melakuan aksi bom bunuh diri, sedangkan Retno lebih ingin berperang bersama anggota NIIS di Suriah.
Sementara itu, Turmini meyakini dengan menyumbang uang kepada NIIS maka akan beroleh jaminan masuk surga. Mereka semua percaya semua umat Islam wajib mendukung serta ambil bagian dalam perang di Suriah, Palestina, dan Kashmir di India.
Adupun satu orang yang telah dipulangkan ke Indonesia dinyatakan telah selesai menjalani pemeriksaan. Ia diketahui tidak memiliki hubungan dengan jaringan terorisme. Namun, ia mengetahui aktivitas penyebaran paham radikal dan tidak melaporkannya kepada pihak berwenang di Singapura.
Kemdagri Singapura menyebutkan, sejak 2015 sebanyak 19 pekerja asing ditangkap atas kasus serupa. Sejumlah 16 orang di antaranya telah selesai menjalani pemeriksaan dan sudah dipulangkan ke negara asal. Pemerintah Singapura menyatakan radikalisme adalah masalah serius dan ancaman teror yang nyata.