Tingginya biaya politik dalam proses pemilihan kepala daerah mendorong banyak kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi saat menjabat.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS — Tingginya biaya politik dalam proses pemilihan kepala daerah mendorong banyak kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi saat menjabat. Setelah pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020, dikhawatirkan akan banyak kepala daerah juga melakukan tindak pidana korupsi. Aparat pengawasan intern pemerintah diharapkan menjadi garda terdepan dalam pencegahan korupsi di daerah.
”Tahun 2020 akan ada 270 pilkada (pemilihan kepala daerah). Saya khawatir, kalau sistemnya masih seperti sekarang, biaya politik masih tinggi, ya, nanti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kerjanya hanya nangkap-nangkap,” kata komisioner KPK, Alexander Marwata. Ia membuka Rapat Koordinasi Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara Nasional Tahun 2019 di Solo, Jawa Tengah, Rabu (25/9/2019).
Menurut Marwata, biaya politik yang dikeluarkan calon kepala daerah dalam pilkada, mulai dari kampanye sampai terpilih, berkisar Rp 20 miliar sampai Rp 100 miliar. Namun, penghasilan resmi yang diterima kepala daerah jauh di bawah biaya yang telah dikeluarkan itu.
Dia keluar biaya Rp 20 miliar, tetapi hasilnya Rp 6 miliar. (Selisih) Rp 14 miliar dari mana untuk tutup biaya modal itu?
Dicontohkan, jika bupati/wali kota diasumsikan menerima penghasilan dari gaji ditambah berbagai honor yang sah sebesar Rp 100 juta per bulan, dalam lima tahun, total penghasilan yang diterima adalah Rp 6 miliar.
”Dia keluar biaya Rp 20 miliar, tetapi hasilnya Rp 6 miliar. (Selisih) Rp 14 miliar dari mana untuk tutup biaya modal itu? Pasti akan main akrobat, jumpalitan bagaimana caranya dia bisa balik modal. Ya itu, jual beli jabatan, perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan dalam perencanaan dan penganggaran dia bekerja sama dengan teman-teman di DPRD,” tutur Marwata.
Menurut Marwata, tingginya biaya politik dalam pilkada itu menjadi akar permasalahan korupsi yang melibatkan kepala daerah. Karena itu, harus ada perubahan mendasar terkait tata cara memilih kepala daerah. Apalagi, pilkada juga tidak menjamin kepala daerah terpilih memiliki integritas dan kualitas tinggi. ”Percuma kalau kita tidak menyelesaikan akar permasalahan itu,” ujarnya.
Marwata mengatakan, tidak mungkin pemberantasan korupsi hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab KPK. Karena itu, KPK membentuk tim koordinasi supervisi pencegahan. KPK harus bekerja sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) untuk mencegah korupsi.
APIP diharapkan bekerja secara profesional dan obyektif sehingga laporan masyarakat terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi di sejumlah daerah yang masuk ke KPK bisa didistribusikan kepada inspektorat-inspektorat daerah untuk ditindaklanjuti. Sumber daya manusia APIP yang unggul diharapkan menjadi garda terdepan pencegahan korupsi di daerah.
Namun, persoalannya, menurut Marwata, banyak pegawai yang ditempatkan di inspektorat justru adalah orang-orang yang bermasalah di dinas atau satuan kerja lain. Di sisi lain, berdasarkan pemetaan KPK, masih ada kekurangan sekitar 24.000 tenaga inspektorat di seluruh Indonesia.
Ia menyebutkan, komitmen kepala daerah menjadi kunci agar APIP bisa melakukan pengawasan secara independen, profesional, dan obyektif. ”Kalau kepala daerah tidak memiliki komitmen, tidak berintegritas, ya,pasti akan menunjuk inspektur yang kira-kira nanti kalau dia tugas enggak akan gigit tuannya. Akhirnya, yang dipilih yang seleranya sama dengan kepala daerah,” ucap Marwata.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo mengatakan, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia APIP saat ini belum memadai secara nasional. Berdasarkan pemetaan Kemendagri, dari kebutuhan 32.337 jabatan, baru terisi 12.904.
”Dari segi kualitas juga menunjukkan, dari 542 pemerintah daerah, baru 28 daerah atau 5 persen yang telah mencapai level 3 atau telah menerapkan praktik profesionalitas,” kata Hadi.