Jarak antar-kelahiran yang tidak terkontrol dapat memicu terjadinya kekurangan gizi pada bayi sehingga menyebabkan tengkes (stunting) atau kekerdilan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Jarak antar-kelahiran yang tidak terkontrol dapat memicu terjadinya kekurangan gizi pada bayi sehingga menyebabkan tengkes (stunting) atau kekerdilan. Kampanye keluarga berencana diharapkan bisa mengurangi risiko tersebut, terutama di Nusa Tenggara Timur yang memiliki angka tengkes tinggi.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2017, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) NTT mencapai 3,4. Angka ini di atas rata-rata nasional sebesar 2,4. Indikator ini beriringan dengan angka anak balita kerdil karena kurang gizi (stunting) yang tinggi di Indonesia, yaitu mencapai 49,3 persen.
Ibarat tanah, tubuh perempuan perlu diistirahatkan dulu sebelum pulih. Kalau hamil lagi tanpa istirahat, hal tersebut bisa berisiko terjadinya stunting.
Menurut Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani, jarak kelahiran sangat menentukan kualitas anak. Jarak antara kelahiran dan kehamilan berikutnya yang terlalu dekat membuat kondisi kesehatan ibu tidak maksimal. Hal tersebut berisiko melahirkan bayi tengkes.
”Semua ini berhubungan dengan kualitas anak, seperti pembangunan saraf otak dan kesehatan mental. Ibarat tanah, tubuh perempuan perlu diistirahatkan dulu sebelum pulih. Kalau hamil lagi tanpa istirahat, hal tersebut bisa berisiko terjadinya stunting. Paling ideal, minimal tiga tahun,” ujar Dwi di Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Kamis (26/9/2019).
Dengan alasan tersebut, Dwi menyatakan, BKKBN berupaya meningkatkan angka penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia, terutama di NTT. Hal itu agar keluarga bisa mengatur jarak kelahiran. Selain itu, penggunaan kontrasepsi juga diharapkan bisa menurunkan angka kelahiran yang tinggi di daerah tersebut.
Dwi berujar, pemerintah menargetkan angka kelahiran total di Indonesia turun menjadi 2,1 pada 2025. Artinya, setiap keluarga di Indonesia rata-rata memiliki dua anak. Namun, upaya pengurangan angka tersebut dilakukan bertahap. Jika tidak, jarak antara usia produktif dan nonproduktif menjadi terbuka lebar sehingga mengganggu struktur demografi seperti yang terjadi di negara-negara maju.
”Sekarang itu masih 2,4. Kami usahakan pelan-pelan agar peluang tidak tertutup. Jika langsung turun, khawatirnya jendela peluang akan menutup,” ujarnya.
Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, semangat meningkatkan kesadaran mengatur kelahiran ini yang membuat Sikka dipilih menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan Hari Kontrasepsi Sedunia di Indonesia. Dia berharap, kegiatan ini bisa menjadi bentuk dukungan dari negara untuk daerah yang memerlukan perhatian seperti NTT.
”Stunting ini menjadi perhatian yang luar biasa. Di sini adalah tempat kita melakukan terobosan dan inovasi. Dengan sinergitas yang dibangun, saya yakin dari ranah kontrasepsi akan ada hasil yang baik,” ujarnya seusai diskusi bertema ”Keragaman Demografis dan Pembangunan Berkelanjutan”.
Peran agama
Diskusi yang dilaksanakan di Kampus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero di Maumere itu juga dihadiri Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati, dan Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Maumere Januarius Hilarius Role.
Januarius menuturkan, anjuran dari pemuka agama dibutuhkan dalam menyosialisasikan imbauan untuk mengendalikan kehamilan. Dia berharap, dengan adanya penjelasan dari pemuka agama, warga lebih memercayai dan mematuhi anjuran tersebut karena masuk dari sisi religius.
”Gereja tidak melarang penggunaan alat kontrasepsi selama tidak membunuh janin atau berkaitan dengan aborsi. Bahkan, kontrasepsi menjadi penting jika berkaitan dengan kesehatan keluarga dan menjaga kasih sayang suami-istri,” ujarnya.