Unjuk rasa yang dilakukan Aliansi #MagelangBergerak di kompleks Kantor DPRD dan Kantor Wali Kota Magelang, Jawa Tengah, Kamis (26/9/2019), berakhir rusuh.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Unjuk rasa yang dilakukan Aliansi #MagelangBergerak di kompleks Kantor DPRD dan Kantor Wali Kota Magelang, Jawa Tengah, Kamis (26/9/2019), berakhir rusuh. Sebagian peserta aksi yang berusia muda mengaku tak paham dengan tujuan aksi tersebut.
Kerusuhan ini menyebabkan tujuh orang terluka, sebagian di antaranya personel kepolisian, TNI, dan aparatur sipil negara (ASN). Seorang ASN di Dinas Perhubungan Kota Magelang yang ikut membantu mengamankan jalan bahkan terluka parah di mata sehingga akhirnya harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Tidar Magelang.
Direktur Pengamanan Obyek Vital Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Suparyono mengatakan, polisi telah menangkap 42 orang yang diduga provokator. Semuanya bukan berstatus mahasiswa.
”Sebagian dari 40 orang tersebut adalah pelajar, anak-anak yang bahkan masih berusia di bawah 17 tahun,” ujarnya, Kamis sore.
Kedatangan massa dimulai sekitar pukul 14.20. Ketika itu, dua rombongan massa datang dari arah berlawanan dan bertemu di jalan. Sebagian tampak memakai jas almamater dari sejumlah perguruan tinggi di Kota Magelang, sedangkan lebih banyak di antara mereka memakai kaus dan celana panjang.
Pada awal kedatangan, sebagian di antara mereka mencoba merangsek masuk ke gerbang yang sudah dijaga dan diamankan oleh polisi, tentara, dan personel satuan polisi pamong praja.
Sejumlah orang mulai riuh melempar botol dan batu. Batu yang dilempar terlontar hingga radius sekitar 50 meter dari pagar dan hampir mengenai sebagian petugas dan ASN Kantor DPRD Kota Magelang.
Salah satu botol yang diduga bom molotov menimbulkan kobaran api saat jatuh di halaman kantor. Untuk mengendalikan massa, polisi saat itu menembakkan lebih dari dua kali tembakan gas air mata.
Saat suasana mulai tenang, koordinator umum Aliansi #MagelangBergerak, Siam Khoirul Bahri, berorasi dan menyampaikan tujuh tuntutan aksi, antara lain menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan UU KPK. Orasi tersebut kemudian dibalas dengan pernyataan Ketua DPRD Kota Magelang Budi Prayitno yang mengatakan akan menyampaikan semua aspirasi pendemo kepada DPR dan pemerintah pusat.
Asisten I Sekretariat Daerah Kota Magelang Muji Rohman mengatakan, lebih dari 10 lampu penerangan di kompleks Kantor Pemerintah Kota Magelang pecah. Sebagian tiang lampu di dekat pos pengamanan di gerbang masuk juga patah. Beberapa rambu jalan dan papan penunjuk pintu masuk bengkok dan beberapa di antaranya ada yang tercabut dari tanah.
Tidak hanya itu, tulisan Kantor Wali Kota Magelang dan Kantor DPRD Kota Magelang juga rusak. Sebagian besar huruf yang terbuat dari baja tercungkil dan hilang dari lapisan keramik di bawahnya.
Muji mengatakan, pihaknya juga masih mendata semua dampak kerusakan yang ditimbulkan. ”Hingga saat ini, kami belum bisa menghitung nominal kerugian yang ditimbulkan dari aksi massa,” ujarnya.
Hingga saat ini, kami belum bisa menghitung nominal kerugian yang ditimbulkan dari aksi massa.
Ikut-ikutan
Terkait provokator yang ditangkap polisi, Siam mengatakan, mereka bukan bagian dari Aliansi #MagelangBergerak. ”Kerusuhan massal juga baru terjadi setelah kami mundur dari aksi,” ujarnya.
Dia menegaskan, aksi Aliansi #MagelangBergerak tidak ditunggangi kepentingan politik, organisasi kemasyarakatan, atau kepentingan pribadi apa pun.
Akan tetapi, sebagian massa ternyata tidak mengetahui tujuan utama aksi tersebut. Riko (14), siswa SMP Negeri 10 Kota Magelang, mengaku hanya diajak teman-temannya. ”Ada lebih dari 10 siswa SMPN 10 yang mengikuti aksi ini. Saya hanya ikut-ikutan,” ujarnya.
Jeki (18), warga Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, juga tidak paham dengan tujuan aksi. ”Saya cuma tahu aksi ini bertujuan untuk menggugat undang-undang. Katanya, undang-undangnya memberatkan rakyat,” ucapnya.