Aliansi Advokat Sumbar Buka Posko Pengaduan dan Bantuan Hukum
Aliansi advokat di Sumatera Barat membuka posko pengaduan dan bantuan hukum bagi pengunjuk rasa dalam demonstrasi yang berujung perusakan fasilitas kantor DPRD Sumbar, Rabu (25/9/2019) lalu.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Aliansi advokat di Sumatera Barat membuka posko pengaduan dan bantuan hukum bagi pengunjuk rasa dalam demonstrasi yang berujung perusakan fasilitas kantor DPRD Sumbar, Rabu (25/9/2019) lalu. Posko itu diadakan untuk mencegah peserta aksi mendapat tindakan hukum secara tidak proporsional dari aparat.
Posko tersebut berlokasi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Sumbar. Posko menerima pengaduan, konsultasi, pendampingan, dan bantuan hukum terkait serangkaian aksi demonstrasi di Sumbar, termasuk yang berujung perusakan fasilitas kantor DPRD Sumbar dua hari lalu.
"Kami sebagai pengacara memberikan bantuan hukum dan pendampingan kepada teman-teman (mahasiswa yang terlibat dalam perusakan) karena tidak mungkin mereka dibiarkan," kata Aulia Rizal, anggota Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Keadilan, di Padang, Jumat (27/9/2019) sore. Tim tersebut berisi sekitar 30 advokat.
Perusakan terjadi di ujung demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan RUU kontroversial lainnya. Massa merusak fasilitas kantor DPRD Sumbar, seperti meja, kursi, mikrofon, alat fitnes, kaca, ruang perpustakaan, dan komputer, serta menjarah tas berisi barang berharga. Sekretaris DPRD Sumbar Raflis memperkirakan total kerugian sekitar Rp 3 miliar.
Aulia menjelaskan, tim mengkhawatirkan kondisi psikis para pelaku perusakan yang merasa terteror karena diburu oleh polisi. Apalagi, polisi telah menangkap dan menetapkan sejumlah tersangka. Tim membuka posko agar mereka mendapatkan tindakan hukum secara proporsional.
Ditegaskan Aulia, aliansi tidak membenarkan tindakan perusakan yang dilakukan sejumlah oknum peserta aksi saat demonstrasi. Namun, kejadian itu tidak dapat pula langsung dijustifikasi sebagai kejadian tunggal. Kerusuhan adalah dampak dari demonstrasi yang sangat masif di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut Aulia, dalam perusakan itu tidak ada yang benar-benar mampu mengendalikan massa yang anarkis, termasuk polisi yang mengamankan aksi. Ia juga menyayangkan minimnya antisipasi dari polisi. Jumlah personel polisi yang berjaga sebanyak 850 orang tidak sebanding dengan jumlah massa yang mencapai 5.000 orang.
Jumlah personel polisi yang berjaga sebanyak 850 orang tidak sebanding dengan jumlah massa yang mencapai 5.000 orang.
"Melihat konteks aksi yang ada di Indonesia saat ini, begitu banyak mahasiswa turun ke jalan, tidak hanya di Jakarta atau Jawa, nyaris di seluruh pulau-pulau di Indonesia. Ini semestinya diantisipasi pihak kepolisian dengan jumlah personel yang proporsional, memadai, dan memungkinkan untuk pencegahan perbuatan perusakan," ujar Aulia.
Ihsan Riswandi, advokat lainnya, menambahkan, terkait peserta demo yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tim belum bisa memberikan pendampingan hukum. Pihak tersangka belum memberikan kuasa hukum kepada mereka. Namun, tim bersedia jika dimintai bantuan.
"Sampai hari ini kami belum terima (info) apakah (para tersangka) bersedia didampingi atau tidak. Beberapa hari ke depan kami coba komunikasikan ke keluarga atau teman-teman mahasiswa yang lain terkait yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Apakah bersedia kami dampingi atau bagaimana," kata Ihsan.
Diperiksa
Secara terpisah, Kepala Kepolisian Daerah Sumbar Inspektur Jenderal Fakhrizal mengatakan, polisi telah memeriksa 15 orang terkait perusakan fasilitas kantor DPRD dalam demonstrasi tersebut. Dari jumlah itu, 3 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka. (Fakhrizal)
"Dugaannya mereka melakukan perusakan di kantor DPRD Sumbar. Kami terus mengamati CCTV untuk mencari pelaku yang melakukan perusakan," kata Fakhrizal.
Fakhrizal menjelaskan, saat aksi berlangsung, polisi berupaya memberikan pengamanan persuasif. Ia mengakui, jumlah personel polisi tidak sebanding dengan jumlah massa. Namun, polisi tidak menyangka aksi demonstrasi berujung anarkis.
Menurut Fakhrizal, selama ini, mahasiswa yang berunjuk rasa di Sumbar tidak pernah berbuat anarkis. Oleh sebab itu, penjagaan polisi tidak terlalu ketat dan tidak represif. Awalnya, unjuk rasa memang berlangsung damai. Semua, keinginan pengunjuk rasa dikabulkan oleh anggota dewan.
"Namun, tiba-tiba mereka bertindak anarkis," ujar Fakhrizal. Ditambahkannya, polisi tengah mendalami dugaan adanya pihak dari luar yang menyusup untuk memprovokasi mahasiswa melakukan perusakan.
Para tersangka terancam Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas perbuat melakukan perusakan secara bersama-sama. Ancaman hukumannya maksimal lima tahun enam bulan kurungan penjara.