Alokasi anggaran daerah pada program anak yang minim, regulasi yang lemah, dan kebijakan tidak sensitif terhadap anak menunjukkan komitmen pemerintah kabupaten/kota pada perlindungan dan pemenuhan hak anak masih lemah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Alokasi anggaran daerah pada program anak yang minim, regulasi yang lemah, dan kebijakan tidak sensitif terhadap anak menunjukkan komitmen pemerintah kabupaten/kota terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak masih lemah. Dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, hanya empat daerah yang menetapkan diri sebagai daerah layak anak.
Hal itu mengemuka dalam diskusi tentang kekerasan terhadap anak yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh bekerja sama dengan Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat, Jumat (27/9/2019). Diskusi menghadirkan pembicara perwakilan pemerintah, akademisi, dan aktivis perempuan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani mengatakan, sebagian besar daerah tidak mengalokasikan anggaran memadai untuk perlindungan dan pemenuhan hak anak. Akibatnya, banyak program perlindungan tidak berjalan maksimal.
”Komitmen kuat kepala daerah sangat penting. Namun, sekarang belum semua daerah memiliki komitmen itu,” ujar Nevi.
Ia menambahkan, komitmen kepala daerah terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak harus diwujudkan dengan alokasi anggaran yang besar dan kebijakan yang pro-anak. Saat ini baru empat daerah yang mendeklarasi diri sebagai kabupaten/kota layak anak, yakni Banda Aceh, Bireuen, Nagan Raya, dan Aceh Besar.
Lemahnya komitmen itu menjadikan kasus kekerasan terhadap anak di Aceh masih tinggi. Sejak 2015 sampai 2018, total kasus kekerasan terhadap anak di Aceh mencapai 3.515 kasus. Bentuk kekerasan yang dialami anak berupa pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan fisik, kekerasan psikis, eksploitasi, dan sebagainya.
Menurut Nevi, jumlah 3.515 kasus itu adalah kasus yang terungkap. Jika diibaratkan fenomena gunung es, kasus-kasus tersebut hanyalah permukaan semata. Tidak tertutup kemungkinan kasus yang tidak terdeteksi justru lebih banyak.
Jumlah 3.515 kasus itu adalah kasus yang terungkap. Jika diibaratkan fenomena gunung es, kasus-kasus tersebut hanyalah permukaan semata.
Kasus terbaru adalah eksploitasi yang diderita oleh MS, anak berusia 9 tahun, di Kota Lhokseumawe. MS dipaksa orangtuanya untuk mengemis. Jika pulang tanpa membawa uang, MS dipukuli dan dirantai. Kondisi itu berlangsung berbulan-bulan. Kisah MS semakin ironis karena uang hasil mengemisnya digunakan orangtua MS untuk membeli narkoba.
Padahal, keluarga MS tinggal di permukiman yang relatif padat penduduk, yang harapannya kontrol warga pun ketat. ”Aparatur desa harusnya berperan mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak,” ujar Nevi.
Anggota Balai Syura Ureung Inong Aceh, Norma Manalu, mengatakan, sebenarnya minimnya anggaran tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk lalai dalam melindungi anak. Sebab, perlindungan anak melibatkan lintas sektor. Norma menilai, instansi pemerintah belum bersinergi dalam melindungi dan memenuhi hak anak.
Sementara itu, masalah yang dihadapi anak sangat kompleks. Dalam kasus MS, misalnya, berkelindan ragam masalah mulai dari kegagalan pengasuhan utama, kekerasan fisik, mental, eksploitasi, akses pendidikan yang buruk, kemiskinan, mafia sabu, pemerintah yang lalai, hingga masyarakat yang abai.
Dinas-dinas dapat terlibat dalam menangani kasus kekerasan pada anak sesuai bidangnya. Misalnya, dinas pendidikan memastikan pendidikan korban terpenuhi, dinas sosial merehab kondisi psikologis, dan dinas kesehatan memulihkan fisik korban.
”Diperlukan komitmen kepala daerah mendorong semua instansi bekerja,” kata Norma.
Dosen Psikologi Universitas Syiah Kuala, Leli Safrina, menuturkan, anak korban kekerasan membutuhkan pendampingan berkelanjutan sebab jika tidak dipulihkan, korban berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari.
Menurut Leli, penguatan keluarga yang dimulai dari pendidikan dan perbaikan ekonomi sangat penting karena kasus kekerasan banyak dialami anak dari keluarga miskin.